Keluarga Rasulullah
صلى ا لله عليه وسلم
Istri- istri Nabi زوجات النبي
- Khadijah binti Khuwailid (wafat 3 SH)
- Zainab binti Khuzaimah (wafat 1 SH)
- Aisyah binti Abu Bakar (wafat 57 H)
- Hafsah binti Umar (wafat 45 H)
- Juwairiah binti Harits bin Abu Dhirar (wafat 56 H)
- Maimunah binti Harits (wafat 50 H)
- Mariah Qibtiah (wafat 16 H)
- Saudah binti Zam`ah (wafat 23 H/ 643 M)
- Sofiah binti Huyai bin Akhtab (wafat 50 H)
- Ummu Habibah binti Abu Sofyan (wafat 44 H)
- Ummu Salamah (wafat 57 H)
- Zainab binti Jahsy (wafat 20 H)
- Al- Qasim bin Muhammad
- Zainab binti Muhammad (wafat 8 H.)
- Ruqayyah binti Muhammad (wafat 2 H)
- Ummu Kultsum (wafat 9 H)
- Fatimah Az-Zahra (wafat 11 H)
- Abdullah bin Muhammad (meninggal ketika kecil)
- Ibrahim bin Muhammad (wafat 10 H ketika kecil)
Cucu Nabi
- Abdullah bin Usman bin Affan (Putra Ruqayyah)
- Ali bin Abul Ash (Putra Zainab.meninggal ketika kecil.)
- Hasan bin Ali bin Abu Talib (3-50 H.)
- Husain bin Ali bin Abu Talib (4-61 H)
- Zainal Abidin (wafat 93H)
- Ummi Kultsum binti Ali bin Abu Thalib (wafat.75H)
Paman Nabi
- Abbas bin Abdul Mutalib (wafat 32 H)
- Abu Thalib bin Abdul Muthalib (wafat 3 SH)
- Hamzah bin Abdul Mutalib (wafat 3 H)
Khadijah binti Khuwaild (wafat 3H)
Khadijah binti Khuwaild adalah sebaik-baik wanita ahli surga. Ini sebagaimana sabda
Rasulullah, “Sebaik-baik wanita ahli surga adalah Maryam binti Imran dan
Khadijah binti Khuwailid.” Khadijah adalah wanita pertama yang hatinya
tersirami keimanan dan dikhususkan Allah untuk memberikan keturunan bagi
Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam., menjadi wanita pertama yang menjadi
Ummahatul Mukminin, serta turut merasakan berbagai kesusahan pada fase awal
jihad pcnyebaran agarna Allah kepada seluruh umat manusia.
Khadijah adalah wanita yang hidup dan besar di lingkungan Suku
Quraisy dan lahir dari keluarga terhormat pada lima belas tahun sebelum Tahun
Gajah, sehingga banyak pemuda Quraisv yang ingin mempersuntingnya. Sebelum
menikah dengan Rasulullah, Khadijah pernah dua kali menikah. Suami pertama
Khadijah adalah Abu Halah at-Tamimi, yang wafat dengan meninggalkan kekayaan
yang banyak, juga jaringan perniagaan yang luas dan berkembang. Pernikahan
kedua Khadijah adalah dengan Atiq bin Aidz bin Makhzum, yang juga wafat dengan
meninggalkan harta dan perniagaan. Dengan demikian, Khadijah menjadi orang
terkaya di kalangan suku Quraisy.
A. Wanita Suci
Sayyidah Khadijah dikenal dengan julukan wanita suci sejak
perkawinannya dengan Abu Halah dan Atiq bin Aidz karena keutamaan ãkhlak dan
sifat terpujinya. Karena itu, tidak heran jika kalangan Quraisy memberikan
penghargaan dan berupa penghormatan yang tinggi kepadanya.
Kekayaan yang berlimpahlah yang menjadikan Khadijah tetap
berdagang. Akan tetapi, Khadijah merasa tidak mungkin jika sernua dilakukan
tanpa bantuan orang lain. Tidak mungkin jika dia harus terjun langsung dalam
berniaga dan bepergian membawa barang dagangan ke Yaman pada musim dingin dan ke
Syam pada musim panas. Kondisi itulah yang menyebabkan Khadijah mulai
mempekerjakan beberapa karyawan yang dapat menjaga amanah atas harta dan
dagangannya. Untuk itu, para karyawannya menerima upah dan bagian keuntungan
sesuai dengan kesepakatan. Walaupun pekerjaan itu cukup sulit, bermodalkan
kemampuan intelektual dan kecemer1angan pikiran yang didukung oleh pengetahuan
dasar tentang bisnis dan bekerja sama, Khadijah mampu menyeleksi orang-orang
yang dapat diajak berbisnis. Itulah yang mengantarkan Khadilah menuju
kesuksesan yang gemilang.
B. Pemuda yang Jujur
Khadijah
memiliki seorang pegawai yang dapat dipercaya dan dikenal dengan nama Maisarah.
Dia dikenal sebagai pemuda yang ikhlas dan berani, sehingga Khadijah pun berani
melimpahkan tanggung jawab untuk pengangkatan pegawai baru yang akan mengiring
dan menyiapkan kafilah, menentukan harga, dan memilih barang dagangan.
Sebenarnya itu adalah pekerjaan berat, namun penugasan kepada Maisarah tidaklah
sia-sia.
C. Pemuda Pemegang Amanah
Kaum
Quraisy tidak mengenal pemuda mana pun yang wara, takwa, dan jujur selain
Muhammad bin Abdullah, yang sejak usia lima belas tahun telah diajak oleh
Maisarah untuk menyertainya berdagang.
Seperti
biasanya, Maisarah menyertai Muhammad ke Syam untuk membawa dagangan Khadijah,
karena memang keduanya telah sepakat untuk bekerja sama. Perniagaan mereka
ketika itu memberikan keuntungan yang sangat banyak sehingga Maisarah kembali
membawa keuntungan yang berlipat ganda. Maisarah mengatakan bahwa keuntungan
yang mereka peroleh itu berkat Muhammad yang berniaga dengan penuh kejujuran.
Maisarah menceritakan kejadian aneh selama melakukan perjalanan ke Syam dengan
Muhammad. Selama perjalanan, dia melihat gulungan awan tebal yang senantiasa
mengiringi Muhammad yang seolah-olah melindungi beliau dari sengatan matahari.
Dia pun mendengar seorang rahib yang bernama Buhairah, yang mengatakan bahwa
Muhammad adalah laki-laki yang akan menjadi nabi yang ditunggu-tunggu oleh
orang Arab sebgaimana telah tertulis di dalam Taurat dan Injil.
Cerita-cerita
tentang Muhammad itu meresap ke dalam jiwa Khadijah, dan pada dasarnya Khadijah
pun telah merasakan adanya kejujuran, amanah, dan cahaya yang senantiasa
menerangi wajah Muhammad. Perasaan Khadijah itu menimbulkan kecenderungan
terhadap Muhammad di dalam hati dan pikirannya, sehingga dia menemui anak
pamannya, Waraqah bin Naufal, yang dikenal dengan pengetahuannya tentang orang-
orang terdahulu. Waraqah mengatakan bahwa akan muncul nabi besar yang
dinanti-nantikan manusia dan akan mengeluarkan manusia dari kegelapan menuju
cahaya Allah. Penuturan Waraqah itu menjadikan niat dan kecenderungan Khadijah
terhadap Muhammad semakin bertambah, sehingga dia ingin menikah dengan
Muhammad. Setelah itu dia mengutus Nafisah, saudara perempuan Ya’la bin Umayyah
untuk meneliti lebih jauh tentang Muhammad, sehingga akhirnya Muhammad diminta
menikahi dirinya.
Ketika
itu Khadijah berusia empat puluh tahun, namun dia adalah wanita dari golongan
keluarga terhormat dan kaya raya, sehingga banyak pemuda Quraisy yang ingin menikahinya.
Muhammad pun menyetujui permohonan Khadijah tersebut. Maka, dengan salah
seorang pamannya, Muhammad pergi menemui paman Khadijah yang bernama Amru bin
As’ad untuk meminang Khadijah.
D. Istri Pertama Rasulullah
Allah
menghendaki pernikahan hamba pilihan-Nya itu dengan Khadijah. Ketika itu, usia
Muhammad baru menginjak dua puluh lima tahun, sementara Khadijah empat puluh
tahun. Walaupun usia mereka terpaut sangat jauh dan harta kekayaan mereka pun
tidak sepadan, pernikahan mereka bukanlah pernikahan yang aneh, karena Allah
Subhanahu wa ta’ala telah memberikan keberkahan dan kemuliaan kepada mereka.
Khadijah
adalah istri Nabi yang pertama dan menjadi istri satu-satunya sebelum dia
rneninggal. Allah menganugerahi Nabi Shallallahu alaihi wassalam. melalui
rahirn Khadijah beberapa orang anak ketika dibutuhkan persatuan dan banyaknya
keturunan. Dia telah mernberikan cinta dan kasih sayang kepada Rasuluflah
Shallallahu alaihi wassalam. pada saat-saat yang sulit dan tindak kekerasan dan
kekejaman datang dari kerabat dekat. Bersama Khadijah, Rasulullah Shallallahu
alaihi wassalam. mernperoleh per1akuan yang baik serta rumah tangga yang
tenteram damai, dan penuh cinta kasih, setelah sekian lama beliau merasakan
pahitnya menjadi anak yatirn piatu dan miskin.
E. Putra-putri Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam
Khadijah
melahirkan dua orang anak laki-laki, yaitu Qasim dan Abdullah serta empat orang
anak perempuan, yaitu Zainab, Ruqayah, Ummu Kultsum dan Fatimah. Seluruh putra
dan putrinya lahir sebelum masa kenabian, kecuali Abdullah. Karena itulah,
Abdullah kemudian dijuluki ath-Thayyib (yang balk) dan ath-Thahir (yang suci).
Zainab
banyak rnenyerupai ibunya. Setelah besar, Zainab dinikahkan dengan anak
bibinya, Abul Ash ibnur Rabi’. Pernikahan Zainab ini merupakan peristiwa
pertama Rasulullah rnenikahkan putrinya, dan yang terakhir beliau menikahkan
Ummu Kultsum dan Ruqayah dengan dua putra Abu Lahab, yaitu Atabah dan Utaibah.
Ketika Nabi Shallallahu alaihi wassalam. diutus menjadi Rasul, Fathimah
az-Zahra, putri bungsu beliau rnasih kecil.
Selain
mereka ada juga Zaid bin Haritsah yang sering disebut putra Muhammad. Semula,
Zaid dibeli oleh Khadijah dari pasar Mekah yang kemudian dijadikan budaknya.
Ketika Khadijah menikah dengan Muhammad, Khadijah memberikan Zaid kepada
Muhammad sebagai hadiah. Rasulullah sangat mencintai Zaid karena dia memiliki
sifat-sifat yang terpuji. Zaid pun sangat mencintai Rasulullah. Akan tetapi di
tempat lain, ayah kandung Zaid selalu mencari anaknya dan akhirnya dia mendapat
kabar bahwa Zaid berada di tempat Muhammad dan Khadijah. Dia mendatangi
Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam untuk memohon agar beliau mengembalikan
Zaid kepadanya walaupun dia harus membayar mahal. Rasulullah Shallallahu alaihi
wassalam memberikan kebebasan penuh kepada Zaid untuk memilih antara tetáp
tinggal bersamanya dan ikut bersama ayahnya. Zaid tetap memilih hidup bersama Rasulullah, schingga dan sinilah kita dapat
mengetahuisifat mulia Zaid.
Agar pada kemudian hari
nanti tidak menjadi masalah yang akan memberatkan ayahnya, Rasulullah
Shallallahu alaihi wassalam. dan Zaid bin Haritsah menuju halaman Ka’bah untuk
mengummkan kebebasan Zaid dan pengangkatan Zaid sebagai anak. Setelah itu,
ayahnya merelakan anaknya dan merasa tenang. Dari situlah mengapa banyak yang
menjuluki Zaid dengan sebutan Zaid bin Muhammad. Akan tetapi, hukum
pengangkatan anak itu gugur setelah turun ayat yang membatalkannya, karena hal
itu merupakan adat jahiliah, sebagaimana firman Allah berikut ini:
” … jika kamu mengetahui
bapak-bapak mereka, maka (panggillah merela sebagai) saudara-saudaramu seagama
dan maula-maulamu … ” (QS. At-Taubah:5)
F.
Pada Masa Kenabian Muhammad Shallallahu alaihi wassalam.
Muhammad bin Abdullah
hidup berumah tangga dengan Khadijah binti Khuwailid dengan tenterarn di bawah
naungan akhlak mulia dan jiwa suci sang suami. Ketika itu, Rasulullah
Shallallahu alaihi wassalam. menjadi tempat mengadu orang-orang Quraisy dalam
menyelesaikan perselisihan dan pertentangan yang terjadi di antara mereka. Hal
itu menunjukkan betapa tinggi kedudukan Rasulullah di hadapan mereka pada masa
prakenabian. Beliau menyendiri di Gua Hira, menghambakan din kepada Allah yang
Maha Esa, sesuai dengan ajaran Nabi Ibrahim a.s.
Khadijah sangat ik.hlas
dengan segala sesuatu yang dilakukan suaminya dan tidak khawatir selama
ditinggal suaminya. Bahkan dia menjenguk serta menyiapkan makanan dan minuman
selama beliau di dalam gua, karena dia yakin bahwa apa pun yang dilakukan
suaminya merupakan masalah penting yang akan mengubah dunia. Ketika itu, Nabi
Muhammad berusia empat puluh tahun.
Suatu ketika, seperti
biasanya beliau menyendiri di Gua Hira –waktu itu bulan Ramadhan–. Beliau
sangat gemetar ketika mendengar suara gaib Malaikat Jibril memanggil beliau.
Malaikat Jibril menyuruh beliau membaca, namun beliau hanya menjawab, “Aku
tidak dapat membaca.” Akhirnya, Malaikat Jibril mendekati dan mendekap beliau
ke dadanya, seraya berkata, “Bacalah, wahai Muhammad!” Ketika itu Muhammad
sangat bingung dan ketakutan, seraya menjawab, “Aku tidak dapat membaca.”
Mendengar itu, Malaikat Jibril mempererat dekapannya, dan berkata, “Bacalah
dengan menyebut nama Tuhanmu yang menciptakan manusia dari segumpal darah.
Bacalah dan Tuhanmulah Yang Maha Mulia. Dia mengajari manusia dengan
perantaraan pena. Dia mengajarkan segala sesuatu yang belum mereka ketahui.”
Rasulullah Muhammad mengikuti bacaan tersebut. Keringat deras mengucur dari
seluruh tubuhnya sehingga beliau kepayahan dan tidak menemukan jalan menuju
rumah. Khadijah melihat beliau dalam keadaan terguncang seperti itu, kemudian
memapahnya ke rumah, serta berusaha menghilangkan ketakutan dan kekhawatiran
yang memenuhi dadanya. “Berilah aku selimut, Khadijah!” Beberapa kali beliau
meminta istrinya menyelimuti tubuhnya. Khadijah memberikan ketenteraman kepada
Rasulullah dengan segala kelembutan dan kasih sayang sehingga beliau merasa
tenteram dan aman. Beliau ridak langsung menceritakan kejadian yang menimpa
dirinya kepada Khadijah karena khawatir Khadijah menganggapnya sebagai ilusi
atau khayalan beliau belaka.
D.
Pribadi yang Agung
Setelah rasa takut
beliau hilang, Khadilah berupaya agar Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam.
mengutarakan apa yang telah dialaminya, dan akhirnya beliau pun menceritakan
peristiwa yang baru dialaminya. Khadijah mendengarkan cerita suaminya dengan
penuh minat dan mempercayai semuanya, sehingga Rasulullah Shallallahu alaihi
wassalam. merasa bahwa istrinya pun menduga akan terjadinya hal-hal seperti
itu.
Sejak semula Khadijah
telah yakin bahwa suaminya akan menerima amanat Allah Yang Maha Besar untuk
seluruh alam semesta. Kejadian tersebut merupakan awal kenabian dan tugas
Muhammad menyampaikan amanat Allah kepada manusia. Hal itu pun merupakan babak
baru dalam kehidupan Khadijah yang dengannya dia harus mempercayai dan meyakini
ajaran Rasulullah Muhammad, sehingga Rasulullah mengatakan, “Aku
rnengharapkannya menjadi benteng yang kuat bagi diriku.”
Di sinilah tampak
kebesaran pribadi serta kematangan dan kebijaksanaan pemikiran Khadijah.
Khadijah telah mencapai derajat yang tinggi dan sempurna, yang belum pernah
dicapai oleh wanita mana pun. Dia telah berkata kepada Rasulullah Shallallahu
alaihi wassalam, “Demi Allah, Allah tidak akan menyia nyiakanrnu Engkau selalu
menghubungkan silaturahim, berbicara benar, memikul beban orang lain, menolong
orang papa, menghorrnati tamu, dan membantu meringankan derita dan musibah
orang lain.”
Setelah Rasulullah
merasa tenteram dan dapat tidur dengan tenang, Khadijah mendatangi anak
pamannya, Waraqah bin Naufal, yang tidak terpengaruhi tradisi jahiliah.
Khadijah menceritakan kejadian yang dialami suaminya. Mendengar cerita mengenai
Rasulullah, Waraqah berseru, “Maha Mulia…Maha Mulia…. Demi yang jiwa Waraqah
dalam genggaman-Nya, kalau kau percaya pada ucapanku, maka apa yang diihat
Muhammad di Gua Hira itu merupakan suratan yang turun kepada Musa dan Isa
sebelumnya, dan Muhammad adalah nabi akhir zaman, dan namanya tertulis dalam
Taurat dan Injil.” Mendengar kabar itu, Khadijah segera menemui suaminya
(Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam) dan menyampaikan apa yang dikatakan
oleh Waraqah.
H.
Awal Masa Jihad di Jalan Allah
Khadijah meyakini seruan
suaminya dan menganut agarna yang dibawanya sebelum diumumkan kepada
rnasyarakat. Itulah langkah awal Khadijah dalam menyertai suaminya berjihad di
jalan Allah dan turut menanggung pahit getirnya gangguan dalam menyebarkan
agama Allah.
Beberapa waktu kemudian
Jibril kembali mendatangi Muhammad Shallallahu alaihi wassalam. untuk membawa
wahyu kedua dari Allah:
“Hai orang yang berkemul
(berselimut), bangunlah, lalu berilah peringatan dan Tuhanmu agungkanlah dan
pakaianmu bersihkanlah, dan perbuatan dosa (menyembah berhala) tinggalkanlah,
dan janganlab kamu memberi (dengan maksud) memperoleb (balasan) yang lebih
banyak. Dan untuk (memenuhi perintah) Tuhanmu, bersabarlah” (QS.
Al-Muddatstir:1-7)
Ayat di atas merupakan
perintah bagi Rasulullah untuk mulai berdakwah kepada kalangan kerabat dekat
dan ahlulbait beliau. Khadijah adalah orang pertama yang menyatap kan beriman
pada risalah Rasulullah Muhammad dan menyatakan kesediaannya menjadi pembela
setia Nabi. Kemudian menyusul Ali bin Abi Thalib, anak paman Rasulullah yang
sejak kecil diasuh dalam rumah tangga beliau. Ali bin Abi Thalib adalah orang
pertama yang masuk Islam dari kalangan anak-anak, kemudian Zaid bin Haritsah,
hamba sahaya Rasulullah yang ketika itu dijuluki Zaid bin Muhammad. Dari
kalangan laki-laki dewasa, mulailah Abu Bakar masuk Islam, diikuti Utsman bin
Affan, Abdurrahman bin Auf, Sa’ad bin Abi Waqash, az-Zubair ibnu Awam, Thalhah
bin Ubaidilah, dan sahabat-sahat lainnya. Mereka masuk menyatakan Islam secara
sembunyi-sembunyi sehingga harus melaksanakan shalat di pinggiran kota Mekah.
I.
Masa Berdakwah Terang-terangan
Setelah berdakwah secara
sembunyi- sembunyi, turunlah perintah Allah kepada Rasulullah untuk memulai
dakwah secara terang-terangan. Karena itu, datanglah beliau ke tengah-tengah
umat seraya berseru lantang, “Allahu Akbar, Allahu Akbar… Tiada Tuhan selain
Allah, tiada sekutu bagi-Nya, Dia tidak melahirkan, juga tidak dilahirkan.”
Seruan beliau sangat aneh terdengar di telinga orang-orang Quraisy. Rasulullah
Muhammad memanggil manusia untuk beribadah kepada Tuhan yang satu, bukan Laata,
Uzza, Hubal, Manat, serta tuhan-tuhan lain yang mernenuhi pelataran Ka’bah.
Tentu saja mereka menolak, mencaci maki, bahkan tidak segan-segan menyiksa
Rasulullah. Setiap jalan yang beliau lalui ditaburi kotoran hewan dan duri.
Khadijah tampil
mendampingi Rasulullah dengan penuh kasih sayang, cinta, dan kelembutan.
Wajahnya senantiasa membiaskan keceriaan, dan bibirnya meluncur kata-kata
jujur. Setiap kegundahan yang Rasulullah lontarkan atas perlakuan orang-orang
Quraisy selalu didengarkan oleh Khadijah dengan penuh perhatian untuk kemudian
dia memotivasi dan rnenguatkan hati Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wassalam.
Bersama Rasulullah, Khadijah turut menanggung kesulitan dan kesedihan, sehingga
tidak jarang dia harus mengendapkan perasaan agar tidak terekspresikan pada
muka dan mengganggu perasaan suaminya. Yang keluar adalab tutur kata yang lemah
lembut sebagai penyejuk dan penawar hati.
Orang yang paling keras
menyakiti Rasulullah adalah paman beliau sendiri, Abdul Uzza bin Abdul
Muthalib, yang lebih dikenal dengan sebutan Abu Lahab, beserta istrinya, Ummu
Jamil. Mereka memerintah anak-anaknya untuk memutuskan pertunangan dengan kedua
putri Rasulullah, Ruqayah dan Ummu Kultsum. Walaupun begitu, Allah telah
menyediakan pengganti yang lebih mulia, yaitu Utsman bin Affan bagi Ruqayah.
Allah mengutuk Abu Lahab lewat firman-Nya :
“Binasalah kedua tangan
Abu Lahab dan sesungguhnya dia akan binasa. Tidaklah berfaedah kepadanya harta
bendanya dan apa yang ia usahakan. Kelak dia akan masuk ke dalam api yang
bergejolak. Dan (begitu pula) istrinya, pembawa kayu bakar. Yang di lehernya
ada tali dan sabut. “ (QS. Al-Lahab:1-5)
Khadijah adalah tempat
berlindung bagi Rasulullah. Dari Khadijah, beliau memperoleh keteduhan hati dan
keceriaan wajah istrinya yang senantiasa menambah semangat dan kesabaran untuk
terus berjuang menyebarluaskan agama Allah ke seluruh penjuru. Khadijah pun
tidak memperhitungkan harta bendanya yang habis digunakan dalam perjuangan ini.
Sementara itu, Abu Thalib, parnan Rasulullah, menjadi benteng pertahanan beliau
dan menjaga beliau dari siksaan orang-orang Quraisy, sebab Abu Thalib adalah
figur yang sangat disegani dan diperhitungkan oleh kaum Quraisy.
J.
Pemboikotan Kaum Quraisy terhadap Kaum Muslimin
Setelah berbagai upaya
gagal dilakukan untuk menghentikan dakwah Rasulullah Shallallahu alaihi
wassalam, baik itu berupa rayuan, intimidasi, dan penyiksaan, kaum Quraisy
memutuskan untuk memboikot dan mengepung kaum muslimin dan menulis deklarasi
yang kemudian digantung di pintu Ka’bah agar orang-orang Quraisy memboikot kaum
muslimin, termasuk Rasulullah, istrinya, dan juga pamannya. Mereka terisolasi
di pinggiran kota Mekah dan diboikot oleh kaum Quraisy dalam bentuk embargo
atas transportasi, komunikasi, dan keperluan sehari-hari lainnya.
Dalam kondisi seperti
itu, Rasulullah dan istrinya dapat bertahan, walaupun kondisi fisiknya sudah
tua dan lemah. Ketika itu kehidupan Khadijah sangat jauh dan kehidupan
sebelumnya yang bergelimang dengan kekayaan, kemakmuran, dan ketinggian
derajat. Khadijah rela didera rasa haus dan lapar dalam mendampingi Rasulullah
Shallallahu alaihi wassalam. dan kaum muslimin. Dia sangat yakin bahwa tidak
lama lagi pertolongan Allah akan datang. Keluarga mereka yang lain, sekali-kali
dan secara sembunyi-sembunyi, mengirimkan makanan dan minuman untuk
mempertahankan hidup. Pemboikotan itu berlangsung selama tiga tahun, tetapi
tidak sedikit pun menggoyahkan akidah mereka, bahkan yang mereka rasakan adalah
bertambah kokohnya keimanan dalam hati. Dengan demikian, usaha kaum Quraisy
telah gagal, sehingga mereka mengakhiri pemboikotan dan membiarkan kaum
muslimin kembali ke Mekah. Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam. pun kembali
menyeru nama Allah Yang Mulia dan melanjutkan jihad beliau.
K.
Wafatnya Khadijah
Beberapa hari setelah
pemboikotan, Abu Thalib jatuh sakit, dan semua orang meyakini bahwa sakit kali
mi merupakan akhir dan hidupnva. Dalam keadaan seperti itu, Abu Sufjan dan Abu
Jahal membujuk Abu Thalib untuk menasehati Muhammad agar menghentikan
dakwahnya, dan sebagai gantinya adalah harta dan pangkat. Akan tetapi, Abu
Thalib tidak bersedia, dan dia mengetahui bahwa Rasulullah Shallallahu alaihi
wassalam tidak akan bersedia menukar dakwahnya dengan pangkat dan harta sepenuh
dunia.
Abu Thalib meninggal
pada tahun itu pula, maka tahun itu disebut sebagai ‘Aamul Huzni (tahun
kesedihan) dalam kehidupan Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam. Sebaliknya,
orang-orang Quraisy sangat gembira atas kematian Abu Thalib itu, karena mereka
akan lebih leluasa mengintimidasi Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam. dan
pengikutnya. Pada saat kritis menjelang kematian pamannya, Rasulullah
Shallallahu alaihi wassalam. membisikkan sesuatu, Secepat ini aku kehilangan
engkau?
Pada tahun yang sama,
Sayyidah Khadijah sakit keras akibat beberapa tahun menderita kelaparan dan
kehausan karena pemboikotan itu. Semakin hari, kondisi badannya semakin
menurun, sehingga Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam. semakin sedih.
Bersama Khadijahlah Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam. membangun kehidupan
rumah tangga yang bahagia. Dalam sakit yang tidak terlalu lama, dalam usia enam
puluh lima tahun, Khadijah meninggal, menyusul Abu Thalib. Khadijah dikuburkan
di dataran tinggi Mekah, yang dikenal dengan sebutan al-Hajun. Rasulullah
Shallallahu alaihi wassalam. sendiri yang mengurus jenazah istrinya, dan
kalimat terakhir yang beliau ucapkan ketika melepas kepergiannya adalah:
“Sebaik-baik wanita penghuni surga adalab Maryam binti Imran dan Khadijah binti
Khuwailid.”
Khadijah meninggal
setelah mendapatkan kemuliaan yang tidak pernah dimiliki oleh wanita lain, Dia
adalah Ummul Mukminin istri Rasulullah yang pertama, wanita pertama yang
mernpercayai risalah Rasulullah, dan wanita pertama yang melahirkan putra-putri
Rasulullah. Dia merelakan harta benda yang dimilikinya untuk kepentingan jihad
di jalan Allah. Dialah orang pertama yang mendapat kabar gembira bahwa dirinya
adalah ahli surga. Kenangan terhadap Khadijah senantiasa lekat dalam hati
Rasulullah sampai beliau wafat. Semoga rahmat Allah senantiasa menyertai
Sayyidah Khadijah binti Khuwailid dan semoga Allah memberinya tempat yang layak
di sisi-Nya. Amin.
Sumber:
buku Dzaujatur-Rasulullah, karya Amru Yusuf, Penerbit Darus-Sa’abu, Riyadh
Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam. membuka lembaran kehidupan rumah
tangganya dengan Aisyah yang telah banyak dikenal. Aisyah laksana lautan
luas dalam kedalaman ilmu dan takwa. Di kalangan wanita, dialah sosok yang
banyak menghafal hadits-hadits Nabi, dan di antara istri-istri Nabi, dia
memiliki keistimewaan yang tidak dimiliki istri Nabi yang lain. Ayahnya adalah
sahabat dekat Rasulullah yang menemani beliau hijrah. Berbeda dengan istri Nabi
yang lain, kedua orang tua Aisyah melakukan hijrah bersama Rasulullah.
Ketika
wahyu datang kepada Rasulullah, Jibril membawa kabar bahwa Aisyah adalah
istrinya di dunia dan akhirat, sebagaimana diterangkan di dalam hadits riwayat
Tirmidzi dari Aisyah :
‘Jibril
datang membawa gambarnya pada sepotong sutera hijau kepada Nabi Shallallahu
alaihi wassalam., lalu berkata, ini adalah istrimu di dunia dan akhirat.”
Dialah
yang menjadi sebab atas turunnya firman Allah yang menerangkan kesuciannya dan
membebaskannya dari fitnah orang-orang munafik.
A. Nasab dan Masa KeciI Aisyab
Aisyah
adalah putri Abdullah bin Quhafah bin Amir bin Amr bin Ka’ab bin Sa’ad bin
Tamim bin Marrah bin Ka’ab bin Luay, yang lebih dikenal dengan nama Abu Bakar
ash-Shiddiq dan berasal dari suku Quraisy at-Taimiyah al-Makkiyah.
Ayahnya adalah ash-Shiddiq dan orang pertama yang mempercayai Rasulullah ketika
terjadi Isra’ Mi’raj, saat orang-orang tidak mempercayainya.
Menurut
riwayat, ibunya bernama Ummu Ruman. Akan tetapi, riwayat-riwayat lain
mengatakan bahwa ibunya adalah Zainab atau Wa’id binti Amir bin Uwaimir bin
Abdi Syams. Aisyah pun digolongkan sebagai wanita pertama yang masuk Islam,
sebagaimana perkataannya, “Sebelum aku berakal, kedua orang tuaku sudah
menganut Islam.”
Ummu
Ruman memberikan dua orang anak kepada Abu Bakar, yaitu Abdurrahman dan Aisyah.
Anak Iainnya, yaitu Abdullah dan Asma, berasal dan Qatlah binti Abdul Uzza,
istri pertama yang dia nikahi pada masa jahiliyah. Ketika masuk Islam, Abu
Bakar menikahi Asma binti Umais yang kemudian melahirkan Muhammad, juga
menikahi Habibah binti Kharijah yang melahirkan Ummu Kultsum. Aisyah dilabirkan
empat tahun sesudah Nabi diutus menjadi Rasulullah. Ketika dakwah Islam
dihambat oleh orang-orang musyrik, Aisyah melihat bahwa ayahnya menanggung
beban yang sangat besar. Semasa kecil dia bermain- main dengan lincah, dan
ketika dinikahi Rasulullah usianya belum genap sepuluh tahun. Dalam sebagian
besar riwayat disebutkan bahwâ Rasulullah membiarkannya bermain-main dengan
teman-temannya.
B. Pernikahan yang Penuh Berkah
Dua
tahun setelah wafatnya Khadijah r.a, datang wahyu kepada Nabi Shallallahu
alaihi wassalam. untuk menikahi Aisyah . Setelah itu Rasulullah berkata kepada
Aisyah, “Aku melihatmu dalam tidurku tiga malam berturut-turut. Malaikat
mendatangiku dengan membawa gambarmu pada selembar sutera seraya berkata, ‘Ini
adalah istrimu.’ Ketika aku membuka tabirnya, tampaklah wajahmu. Kemudian aku
berkata kepadanya, ‘Jika ini benar dari Allah, niscaya akan terlaksana.”
Mendengar kabar itu, Abu Bakar dan istrinya sangat senang, terlebih lagi ketika
Rasulullah setuju menikahi putri mereka, Aisyah. Beliau mendatangi rumah mereka
dan berlangsunglah pertunangan yang penuh berkah itu. Setelah pertunangan itu,
Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam. hijrah ke Madinah bersama para sahabat,
sementara istri-istri beliau ditinggalkan di Mekah. Setelah beliau menetap di
Madinah, beliau mengutus orang untuk menjemput mereka, termasuk di dalamnya
Aisyah . Karena cuaca buruk yang melanda Madinah, Aisyah sakit keras dan
badannya menyusut seperti juga dialami orang-orang Muhajirin. Menyaksikan hal
itu, Rasulullah berdoa, “Ya Allah, jadikanlah karni sebagai orang yang
mencintai Madinah sebagaimana cinta kami kepada Mekah, atau bahkan lebih lagi.
Sembuhkanlah penghuninya dan penyakit. Berikanlah keberkahan kepada kami dalam
timbangan dan takarannya. Lindungilah kami dan penyakit, dan alihkanlah
penyakit itu ke Juhfah.” Allah mengabulkan doa Rasulullah, dan cuaca berangsur
membaik, sehingga hilanglah penyakit yang melanda kaum muhajirin. Aisyah pun
sembuh dan bersiap-siap menghadapi hari pernikahan dengan Rasuhillah
Shallallahu alaihi wassalam.
Dengan
izin Allah menikahlah Aisyah dengan maskawin lima ratus dirham. Ketika ditanya
oleh Abu Salamah bin Abdurrahman tentang jumlah mahar yang diberikan
Rasulullah:
“Aisyab
menjawab, Mahar Rasulullah kepada istri-irstrinya adalah dua belas uqiyah dan
satu nasy. Tahukah kamu satu nasy itu? Dijawab, Tidak. Kemudian lanjut Aisyah.
Satu nasy itu sama dengan setengah uqiyah, yaitu lima ratus dirham. Maka inilah
mahar Rasulullah terhadap istri-istri beliau.“ (HR. Muslim)
C. Istri Kecintaan Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam.
Aisyah
tinggal di kamar yang berdampingan dengan Masjid Nabawi. Di kamar itulah wahyu
banyak turun, sehingga kamar itu disebut juga sebagai tempat turunnya wahyu. Di
hati Rasulullah, kedudukan Aisyah sangat istimewa, dan itu tidak dialami oleh
istri-istri beliau yang lain. Di dalam hadits yang diriwayatkan oleh Anas bin
Malik dikatakan, “Cinta pertama yang terjadi di dalam Islam adalah cintanya
Rasulullah kepada Aisyah .”
Di
dalam riwayat Tirmidzi dikisahkan, “Bahwa ada seseorang yang menghina Aisyah
di hadapan Ammar bin Yasir sehingga Ammar berseru kepadanya, ‘Sungguh celaka
kamu. Kamu telab menyakiti istri kecintaan Rasulullah’.”
Selain
itu ada juga kisah lain yang menunjukkan besarnya cinta Nabi kepada Aisyah, dan
itu sudah diketahui oleh kaurn muslimin saat itu. Oleh karena itu, kaum
muslimin senantiasa menanti-nanti datangnya hari giliran Rasulullah pada Aisyah
sebagai hari untuk menghadiahkan sesuatu kepada Nabi Shallallahu alaihi
wassalam. Keadaan seperti itu menimbulkan kecemburuan di kalangan istri
Rasulullah lainnya. Tentang hal itu Aisyah pernah berkata:
“Orang-orang
berbondong-bondong memberi hadiah pada hari giliran Rasulullah padaku. Karena
itu, teman-temanku (istri Nabi yang lainnya) berkumpul di tempat Ummu Salamah.
Mereka berkata, ‘Hai Ummu Salamah, demi Allah, orang-orang berbondong-bondong
mernberikan hadiah pada hari giliranRasulullah di rumah Aisyah, sedangkan kita
juga ingin rnemperoleh kebaikan sebagaimana yang diinginkan oleh Aisyah.’
Melihat reaksi seperti itu, Rasulullah meminta kaum muslimin untuk memberikan
hadiah kepada beliau pada hari giliran istri Rasulullah yang mana saja. Ummu
Salamah pun telah menyatakan keberatan kepada Rasulullah. Dia berkata,
“Rasulullah berpaling dariiku. Ketika beliau mendatangi aku, akupun kernbali
mernperingatkan hal itu, tetapi beliau berbuat hal yang serupa. Ketika aku
rnenginatkan beliau untuk yang ketiga kalinya, beliau tetap berpaling dariku,
sehingga akhirnya beliau bersabda, ‘Demi Allah, wahyu tidak turun kepadaku
selama aku berada di dekat kalian, kecuali ketika aku dalam satu selimut
bersama Aisyah.” (HR. Muslim)
Sekalipun
perasaan cemburu istri-istri Rasulullah terhadap Aisyah sangat besar, mereka
tetap menghargai kedudukan Aisyah yang sangat terhormat. Bahkan ketika Aisyah
wafat, Ummu Salamah berkata, ”Demi Allah, dia adalah manusia yang paling beliau
cintai setelah ayahnya (Abu Bakar).”
Suatu
waktu, Rasulullah ditanya oleh Amru bin ‘Aash, “Siapakah manusia yang paling
engkau cintai?” Beliau menjawab, “Aisyah!” Amru bertanya lagi, “Dan dari
kalangan laki-laki?” Beliau menjawab, “Ayahnya!” (Hadits muttafaqirn ‘alaihi)
Di
antar istri-istri Rasulullah, Saudah binti Zum’ah sangat memahami keutamaan-
keutamaan Aisyah, sehingga dia merelakan seluruh malam bagiannya untuk Aisyah.
Suatu
hari Shafiyah bin Huyay meminta kerelaan Rasulullah melalui Aisyah, yaitu
sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Majah dari Aisyah.
“Suatu
ketika Rasulullah enggan mendekati Shafiyah binti Huyay bin Ahthab. Karena itu
Shafyyah berkata kepada Aisyah, ‘Hai Aisyah, apakah engkau dapat merelakan
Rasulullah kepadaku? Dan engkau akan mendapatkan hari bagianku. ‘Aisyab
menjawab, ‘Ya!’ Kernudian Aisyah mengambil kerudung yang ditetesi za’faran dan
disiram dengan air agar lebih harum. Setelah itu dia duduk di sebelah
Rasulullah, narnun beliau bersabda, ‘Ya Aisyah, menjauhlah engkau dariku. Hari
ini bukan hari bagianmu. ‘Aisyab berkata, ‘Ini adalah keutamaan yang diberiikan
Allah kepada dia yang dikehendaki-Nya.’ Aisyah kemudian menceritakan duduk
permasalahannya dan Rasulullah pun rela kepada Shafyyah.”
Dengan
demikian dapat dikatakan bahwa Aisyah sangat memperhatikan sesuatu yang
menjadikan Rasulullah rela. Dia menjaga agar jangan sampai beliau menemukan
sesuatu yang tidak menyenangkan darinya. Karena itu, salah satunya, dia
senantiasa mengenakan pakaian yang bagus dan selalu berhias untuk Rasulullah.
Menjelang wafat, Rasulullah meminta izin kepada istri-istrinya untuk
beristirahat di rumah Aisyah selama sakitnya hingga wafatnya. Dalam hal ini
Aisyah berkata, “Merupakan kenikmatan bagiku karena Rasulullah wafat di
pangkuanku.”
D. Fitnah Terhadapnya
Aisyah
pernah mengalami fitnah yang mengotori lembaran sejarah kehidupan sucinya,
hingga turun ayat Al-Q ur’an yang menerangkan kesucian dirinya. Kisahnya
bermula dari sini. Seperti biasanya, sebelum berangkat perang, Rasulullah
mengundi istrinya yang akan menyertainya berperang. Ternyata undian jatuh
kepada Aisyah, sehingga Aisyah yang menyertai beliau dalam Perang Bani
al-Musthaliq. Saat itu bertepatan dengan turunnya perintah memakai hijab.
Setelah perang selesai dan kaum muslimin memetik kemenangan, Rasulullah kembali
ke Madinah. Ketika tentara Islam tengah beristirahat di sebuah pelataran,
Aisyah masih berada di dalam sekedup untanya. Pada malam harinya, Rasulullah
mengizinkan rombongan berangkat pulang. Ketika itu Aisyah pergi untuk hajatnya,
dan kembali. Ternyata, kalung di lehernya jatuh dan hilang, sehingga dia keluar
dan sekedup dan mencari-cari kalungnya yang hilang. Ketika pasukan siap
berangkat, sekedup yang mereka angkat ternyata kosong. Mereka mengira Aisyah
berada di dalam sekedup. Setelah kalungnya ditemukan, Aisyah kembali ke
pasukan, namun alangkah kagetnya karena tidak ada seorang pun yang dia temukan.
Aisyah tidak meninggalkan tempat itu, dan mengira bahwa penuntun unta akan tahu
bahwa dirinya tidak berada di dalamnya, sehingga mereka pun akan kembali ke
tempat semula. Ketika Aisyah tertidur, lewatlah Shafwan bin Mu’thil yang
terheran-heran melihat Aisyah tidur. Dia pun mempersilakan Aisyah menunggangi
untanya dan dia menuntun di depannya. Berawal dari kejadian itulah fitnah
tersebar, yang disulut oleh Abdullah bin Ubay bin Salul.
Ketika
tuduhan itu sarnpai ke telinga Nabi, beliau mengumpulkan para sahabat dan
meminta pendapat mereka. Usamah bin Zaid berkata, “Ya Rasulullah, dia adalah
keluargamu … yang kau ketahui hanyalah kebaikan semata.“ Ali juga berpendapat,
“Ya Rasulullah, Allah tidak pernah mempersulit engkau. Banyak wanita selain dia.”
Dari perkataan Ali, ada pihak yang memperuncing masalah sehingga terjadilah
pertentangan berkelanjutan antara Aisyah dan Ali. Mendengar pendapat-pendapat
dari para sahabat Nabi, bentambah sedihlah Aisyah, terlebih setelah dia melihat
adanya perubahan sikap pada diri Nabi.
Ketika
Aisyah sedang duduk-duduk bersarna orang tuanya, Rasulullah menghampirinya dan
bersabda:
“Wahai
Aisyah aku mendengar berita bahwa kau telah begini dan begitu. Jika engkau
benar-benar suci, niscaya Allah akan menyucikanmu. Akan tetapi, jika engkau
telah berbuat dosa, bertobatlah dengan penuh penyesalan, niscaya Allah akan
mengampuni dosamu.” Aisyah menjawab, “Demi Allah, aku tahu bahwa engkau telah
mendengar kabar inmi, dan ternyata engkau mempercayainya. Seandainya aku
katakan bahwa aku tetap suci pun, niscaya hanya Allahlah yang mengetahui
kesucianku, dan tentunya engkau tak akan mempercayaiku. Akan tetapi, jika aku
mengakui perbuatan itu, sedangkan Allah mengetahui bahwa aku tetap suci, maka
kau akan mempercayai perkataanku. Aku hanya dapat mengatakan apa yang dikatakan
Nabi Yusuf, ‘Maka bersabar itu lebih baik’. Dan Allah pula yang akan menolong
atas apa yang engkau gambarkan.”
Aisyah
sangat mengharapkan Allah menurunkan wahyu berkaitan dengan masalahnya, namun
wahyu itu tidak kunjung turun. Baru setelah beberapa saat, sebelum seorang pun
meninggalkan rumah Rasulullah, wahyu yang menerangkan kesucian Aisyah pun turun
kepada beliau. Rasulullah segera menemui Aisyah dan berkata, “Hai Aisyah, Allah
telah menyucikanmu dengan firman-Nya:
“Sesungguhnya
orang-orang yang membawa berita bohong itu adalah dari golongan kamu juga.
janganlah kamu kira bahwa berita bohong itu buruk bagi kamu bahkan ia adalah
baik bagi kamu. tiap-tiap seseorang dari mereka mendapat Balasan dari dosa yang
dikerjakannya. dan siapa di antara mereka yang mengambil bahagian yang terbesar
dalam penyiaran berita bohong itu baginya azab yang besar.” (QS. An-Nuur:11)
Demikianlah
kemulian yang disandang Aisyah, sehingga bertambahlah kemuliaan dan
keagungannya di hati Rasulullah.
E. Perjalanan Hidup yang Mulia
Pada
hakikatnya, setiap manusia memiliki kelemahan, begitu juga halnya dengan
Aisyah, yang selain memiliki kehormatan dan martabat juga memiliki kekurangan.
Dalam hal ini dia pernah berkata,
“Aku
tidak pernah melihat pembuat makanan seperti Shafiyyah. Dia selalu menghadiahi
makanan kepada Rasulullah. Tanpa sadar aku pernah memecahkan tempat makanan
yang dibawa Shafiyyah. Aku bertanya kepada Rasulullah apa yang dapat dijadikan
sebagai tempat yang pecah itu. Rasulullab menjawab, ‘Tempat diganti dengan
tempat dan makanan diganti dengan makanan.“ (HR. Bukhari)
Aisyah
pernah berkata:
“Halah
binti Khuwailid, saudara perempuan Khadijah, meminta izin kepada Rasulullah.
Ketika itu Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam. merasa bahwa cara Halah
meminta izin sama dengan cara Khadijah meminta izin, dan beliau merasa senang
atas semua itu. Lalu beliau berkata, ‘Ya Allah, inilah Halah binti Khuwailid.’
Aku berkata, ‘Apa yang engkau sebut itu adalab seorang nenek dari nenek-nenek
kaum Quraisy, yang kedua sudut mulutnya merah. Dia telah tua renta ditelan
masa. Semoga Allah memberi untukmu pengganti yang lebih baik daripada dia.‘
Mendengar itu Rasulullah menjawab, ‘Allah tidak akan memberikan pengganti yang
lebib baik darpada Khadijah. Dia telah beriman kepadaku ketika orang lain
mengingkariku. Dia telah mempercayaiku ketika orang lain mendustakanku. Dia
telah mendermakan harta bendanya untuk perjuanganku ketika orang lain menolak
memberikan harta mereka. Allah telah memberkahiku dengan putra-putri lewat
Khadijah ketika yang lain tidak memberiku anak.” (HR. Ahmad dan Muslim)
Terdapat
beberapa pendirian yang tegas dan pemecahan problema hukum yang penting, baik
khusus yang berkaitan dengan wanita maupun secara umum yang berkaitan dengan
kehidupan kaum muslimin secara umum. Diriwayatkan bahwa pada zaman dahulu
seorang laki-laki dapat menceraikan istrinya dengan sekehendak hati. Wanita itu
akan kembali menjadi istrinya jika suaminya membujuk kembali dalam keadaan
iddah, sekalipun dia telah menceraikannya seratus kali. Bahkan suami itu
berkata kepada istrinya, “Demi Allah, aku akan menceraikanmu sehingga engkau
menjadi jelas, dan aku tidak akan memberimu nafkah selamanya”. Istrinya menemui
Aisyah dan menceritakan. Dia menjawab, Aku menceraikanmu jika iddahmu hampir
berakhir, dan jika engkau telah suci kembali, aku akan merujukmu kembali.
Istrinya menemui Aisyah dan menceritakan masalah yang dihadapinya. Aisyah
terdiarn hingga Rasulullah datang. Beliau pun diam tidak dapat menyelesaikan
masalah tersebut hingga turunlah ayat:
“Talak
(yang dapat dirujuki) dua kali. Setelab itu boleh rujuk lagi dengan cara yang
ma‘ruf atau menceraikannya dengan cara yang baik….” (al-Baqarah: 229)
Dalam
penetapan hukum pun, Aisyah kerap langsung menemui wanita-wanita yang melanggar
syariat Islam. Suatu ketika dia mendengar bahwa kaum wanita dari Hamash di Syam
mandi di tempat pemandian umum. Aisyah mendatangi mereka dan berkata,
“Aku
mendengar Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam. bersabda, ‘Perempuan yang
menanggalkan pakaiannya di rumah selain rumah suaminya maka dia telah membuka
tabir penutup antara dia dengan Tuhannya.“ (HR. Ahmad, Abu Daud, dan Ibnu
Majah)
Aisyah
pun pernah menyaksikan adanya perubahan pada pakaian yang dikenakan
wanita-wanita Islam setelah Rasulullah wafat. Aisyah menentang perubahan
tersebut seraya berkata, “Seandainya Rasulullah melihat apa yang terjadi pada
wanita (masa kini), niscaya beliau akan melarang mereka memasuki masjid
sebagaimana wanita Israel dilarang memasuki tempat ibadah mereka.”
Di
dalam Thabaqat Ibnu Saad mengatakan bahwa Hafshah binti Abdirrahman menemui
Ummul-Mukminin Aisyah . Ketika itu Hafsyah mengenakan kerudung tipis. Secepat
kilat Aisyah menarik kerudung tersebut dan menggantinya dengan kerudung yang
tebal.
F. Hadist yang Diriwayatkan Aisyah
Aisyah
memiliki wawasan ilmu yang luas serta menguasai masalah-masalah keagamaan, baik
yang dikaji dari Al-Qur’an, hadits-hadits Nabi, maupun ilmi fikih. Tentang
masalah ilmu-ilmu yang dimiliki Aisyah ini, di dalam Al-Mustadrak, al-Hakim
mengatakan bahwa sepertiga dari hukum-hukum syariat dinukil dan Aisyah. Abu
Musa al-Asya’ari berkata, “Setiap kali kami menemukan kesulitan, kami temukan
kemudahannya pada Aisyah.” Para sahabat sering meminta pendapat jika menemukan
masalah yang tidak dapat mereka selesaikan sendiri. Aisyah pun sering
mengoreksi ayat, hadits, dan hukum yang keliru diberlakukan untuk kemudian
dijelaskan kembali maksud yang sebenarnya. Salah satu contoh adalah perkataan
yang diungkapkan oleh Abu Hurairah. Ketika itu Abu Hurairah merujuk hadits yang
diriwayatkan oleh Fadhi ibnu Abbas bahwa barang siapa yang masih dalam keadaan
junub pada terbit fajar, maka dia dilarang berpuasa. Ketika Abu Hurairah
bertanya kepada Aisyah, Aisyah menjawab, “Rasulullah pernah junub (pada waktu
fajar) bukan karena mimpi, kemudian beliau meneruskan puasanya.” Setelah
mengetahui hal itu, Abu Hurairah berkata, “Dia lebih mengetahui tentang
keluarnya hadits tersebut.” Kamar Aisyah lebih banyak berfungsi scbagai
sekolah, yang murid-muridnya berdatangan dari segala penjuru untuk menuntut
ilmu. Bagi murid yang bukan mahramnya, Aisyah senantiasa membentangkan kain
hijab di antara mereka. Aisyah tidak pernah mempermudah hukum kecuali jika
sudah jelas dalilnya dari A1-Qur’an dan Sunnah.
Aisyah
adalah orang yang paling dekat dengan Rasulullah sehingga banyak menyaksikan
turunnya wahyu kepada beliau, sebagairnana perkataannya ini:
“Aku
pernah melihat wahyu turun kepada Rasulullah pada suatu hari yang sangat dingin
sehingga beliau tidak sadarkan diri, sementara keringat bercucuran dari dahi
beliau.“ (HR. Bukhari)
Aisyah
pun memiliki kesempatan untuk bertanya langsung kepada Rasulullah jika
menemukan sesuatu yang belum dia pahami tentang suatu ayat. Dengan demikian
dapat dikatakan bahwa dia memperoleh ilmu langsung dan Rasulullah sebagaimana
ungkapannya ini:
“Aku
bertanya kepada Rasulullah tentang ayat ‘Dan orang-orang yang memberikan apa
yang telah mereka berikan dengan hati yang takut….’ (QS. Al-Mu’minun: 60).
Apakah yang dimaksud dengan ayat di atas adalah para peminum khamar dan
pencuri?” Beliau menjawab, ‘Bukan, putri ash-Shiddiq! Mereka adalah orang yang
berpuasa, shalat, dan bersedekah, tetapi takut (amal mereka tidak diterima).
Mereka menyegerakan diri dalam kebaikan, tetapi mendahului (menentukan sendiri)
kebaikan tersebut.” (HR. Ibnu Majah dan Tirmidzi).
Aisyah
berkata lagi: “Aku bertanya kepada Rasulullah tentang firman Allah: ‘Yauma
tabdalul-ardhu ghairal-ardha was-samawati. Di manakah manusia berada, wahai
Rasulullah?” Beliau menjawab, “Manusia berada di atas shirath.“ (HR. Muslim)
Aisyah
termasuk wanita yang banyak menghafalkan hadits-hadits Nabi Shallallahu alaihi
wassalam, sehingga para ahli hadits menernpatkan dia pada urutan kelima dari
para penghafal hadits setelah Abu Hurairah, Ibnu Umar, Anas bin Malik, dan Ibnu
Abbas. Aisyah memiliki keistimewaan yang tidak dimiliki siapa pun, yaitu
meriwayatkan hadits yang langsung dia peroleh dan Rasulullah dan
menghafalkannya di rumah. Karena itu, sering dia meriwayatkan hadits yang tidak
pernah diriwayatkan oleh perawi hadits lain. Para sahabat penghafal hadits
sering mengunjungi rurnah Aisyah untuk langsung memperoleh hadits Rasulullah
karena kualitas kebenarannya sangat terjamin. Jika berselisih pendapat tentang
suatu masalah, tidak segan-segan mereka meminta penyelesaian dari Aisyah. Qasim
bin Muhammad bin Abu Bakar, anak saudara laki-laki Aisyah, mengatakan bahwa
pada masa kekhalifahan Abu Bakar, Umar, dan Utsman, Aisyah rnenjadi penasihat
pemerintah hingga wafat.
Aisyah
dikenal sebagai perawi hadits yang mengistinbath hukum sendiri ketika kejelasan
hukumnya tidak ditemukan dalam Al-Qur’an dan hadits lain. Dalam hal ini, Abu
Salamah berkata, “Aku tidak pernah melihat seorang yang lebih mengetahui Sunnah
Rasulullah, lebih benar pendapatnya jika dia berpendapat, lebih mengetahui
bagaimana Al-Qur’an turun, serta lebih mengenal kewajibannya selain Aisyah.”
Suatu
ketika Saad bin Hisyam menemui Aisyah, dan berkata, “Aku ingin bertanya tentang
bagaimana pendapatmu jika aku tetap membujang selarnanya.” Aisyah menjawab,
“Janganlah kau lakukan hal itu, karena aku mendengar Rasulullah Shallallahu
alaihi wassalam. bersabda tentang firman Allah: ‘Telah kami utus rasul-rasul
sebelummu, dan Kami telah ciptakan bagi mereka istri-istri dan keturunan.’ Oleh
karena itu, janganlah kamu membujang.” Urwah bin Zubeir, salah seorang murid
Aisyah, sangat mengagumi keluarbiasaan penguasaan ilmu Aisyah. Dia berkata,
“Aku berpikir tentang urusanmu. Sungguh aku mengagumimu. Menurutku engkau
adalah manusia yang paling banyak mengetahui sesuatu.” Aisyah berkata, “Apa
yang menyebabkanmu berpendapat seperti itu?” Dia menjawab, “Engkau adalah istri
Nabi Shallallahu alaihi wassalam dan putri Abu Bakar. Engkau mengetahui
hari-hari, nasab, dan syair orang-orang Arab.” Dia berkata lagi, “Apa yang
menyebabkan engkau dan ayahmu menjadi orang yang paling pandai dariipada
seluruh orang Quraisy? Aku sangat mengagumi kepandaianmu tentang ilmu medis.
Dari manakah engkau mendapatkan ilmu itu?” Aisyah menjawab, “Wahai Urwah,
sesungguhnya Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam. sering sakit, sehingga
dokter-dokter Arab dan bukan Arab datang mengobati beliau. Dari merekalah aku
belajar.”
Tentang
penguasaan bahasa dan sastranya, kembali Urwah berkomentar, “Demi Allah, aku
belum pernah melihat seorang pun yang lebih fasih dariipada Aisyah selain
Rasulullah sendiri.” Al-Ahnaf bin Qais berkata, “Aku telah mendengar khutbah
Abu Bakar, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, dan Alii bin Abi Thalib. Hingga
saat ini aku belum pernah mendengar satu perkataan pun dari makhluk Tuhan yang
lebih berisi dan baik daripada perkataan Aisyah.” Salah satu contoh
kefasihannya dapat kita lihat dari kata-katanya pada kuburan ayahnya, Abu
Bakar:
“Allah
telah mengilaukan wajahmu, dan bersyukur atas kebaikan yang telah engkau
perbuat. Engkau merendahkan dunia karena engkau berpaling darinya. Akan tetapi,
untuk engkau adalah mulia, karena engkau selalu menghadap untuknya. Kalau
peristiwa terbesar setelah Rasulullah wafat dan musibah terbesar adalah
kematianmu, Kitab Allah rnenghibur dengan kesabaran dan menggantikan yang baik
selainmu. Aku merasakan janji Allah yang telah ditetapkan bagirnu dan ikhlas
atas kepergianmu. Dengan memohon dari-Nya gantimu dan aku berdoa untukmu. Kami
hanyalah milik Allah dan kepada-Nyalah kami kembali. Bagimu salam sejahtera dan
rahmat Allah.”
Dari
Aisyah pun sering keluar kata-kata hikmah yang terkenal, seperti:
“Bagi
Allah mutiara takwa. Takkan ada kesembuhan bagi orang yang di dalarn hatinya
terbersit kemarahan. Pernikahan adalah perbudakan, maka seseorang hendaklah
melihat kepada siapa dia mengabdikan putri kemuliaannya.”
G. Rasulullah Wafat dan Dikuburkan di Kamarnya
Bagi
Aisyah, menetapnya Rasulullah selama sakit di kamarnya merupakan kehormatan
yang sangat besar karena dia dapat merawat beliau hingga akhir hayat. Di bawah
ini dia melukiskan detik-detik terakhir beliau menjelang wafat:
“Sungguh
merupakan nikmat Allah bagiku, Rasulullab wafat di rurnahku pada hariku dan
dalam dekapanku. Allah telah menyatukan ludahku dan ludah beliau menjelang
wafat. Abdurrahman menemuiku, di tangannya tergenggam siwak, sementara aku
menyandarkan beliau. Aku melihat beliau menoleh ke arah Abdurrahman, aku segera
memahami bahwa beliau menyukai siwak. Aku berbisik kepada beliau, ‘Bolehkah aku
haluskan siwak untukmu?’ beliau memberi isyarat dengan kepala, sepertinya
mengisyaratkan ‘ya’. Kemudian beliau menyuruhku menghentikan menghaluskan
siwak, sernentara di tangan beliau ada bejana berisi air. Beliau mernasukkan
kedua belab tangan dan mengusapkannya ke wajah seraya berkata, ‘Laa ilaaha
illahu… setiap kematian mengalami sekarat (beliau mengangkat tangannya)… pada
Allah Yang Maha Tinggi. ‘Beliau menggenggam tangan dan perlahan-lahan tangan
beliau jatuh ke bawab.“ (HR. Muttafaq Alaih)
Rasulullah
Shallallahu alaihi wassalam. dikuburkan di kamar Aisyah, tepat di tempat beliau
meninggal. Sementara itu, dalam tidurnya, Aisyah melihat tiga buah bulan jatuh
ke kamarnya. Ketika dia memberitahukan hal itu kepada ayahnya, Abu Bakar
berkata, “Jika yang engkau lihat itu benar, maka di rumahmu akan dikuburkan
tiga orang yang paling mulia di muka bumi.” Ketika Rasulullah wafat, Abu Bakar
berkata, “Beliau adalah orang yang paling mulia di antara ketiga bulanmu.”
Ternyata Abu Bakar dan Umar dikubur di rumah Aisyah.
H. Setelah Rasulullah Wafat
Setelah
Rasulullah wafat, Aisyah senantiasa dihadapkan pada cobaan yang sangat berat,
namun dia menghadapinya dengan hati yang sabar, penuh kerelaan terhadap takdir
Allah, dan selalu berdiam diri di dalam rumah semata-mata untuk taat kepada
Allah. Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman:
“Dan
hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku
seperti orang-orang jahiliah yang dahulu, dan dirikanlah shalat, tunaikanlah
zakat dan taatilah Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah berrnaksud hendak
menghilangkan dosa dari kamu, hai ahlul-bait, dan membersihkan kamu sebersih-
bersihnya.” (QS. Al-Ahzab:33)
Rumah
Aisyah senantiasa dikunjungi orang-orang dari segala penjuru untuk menimba ilmu
atau untuk berziarah ke makam Nabi Shallallahu alaihi wassalam. Ketika
istri-istri Nabi hendak mengutus Utsman menghadap Khalifàh Abu Bakar untuk
menanyakan harta warisan Nabi yang merupakan bagian mereka, Aisyah justru
berkata, “Bukankah Rasulullah telah berkata, ‘Kami para nabi tidak meninggalkan
harta warisan. Apa yang kami tinggalkan itu adalah sedekah.”
Semasa
kekhalifahan Abu Bakar, kadar keilmuan Aisyah tidak begitu tampak di kalangan
kaum muslimin, karena dengan jarak waktu wafatnya Rasulullah sangat dekat, juga
karena kaum muslimin sedang disibukkan oleh perang Riddah (perang melawan kaum
murtad). Setelah dua tahun tiga bulan dan sepuluh malam, khalifah pertama, Abu
Bakar, meninggal dunia. Sebelum meninggal, Abu Bakar berwasiat kepada putrinya
agar menguburkannya di sisi Rasulullah. Aisyah melaksanakan perintah ayahnya,
dan ketika Abu Bakar rneninggal, Aisyah menguburkan jenazahnya di sisi Nabi,
kepalanya diletakkan pada sisi pundak Nabi.
Ilmu
Aisyah mulai tampak pada masa kekhalifahan Umar, sehingga para sahabat besar
senantiasa merujuk pendapat Aisyah jika mereka dihadapkan pada permasalahan-
permasalahan yang berkenaan dengan kaum muslimin. Di dalam Thabaqat, dari
Mahmud bin Luhaid, lbnu Saad berkata, “Para istri Nabi banyak rnenghafal hadits
Nabi, namun hafalan Aisyah dan Ummu Salamah tidak ada yang dapat menandingi.
Aisyah adalah penasihat kekhalifahan Umar dan Utsman hingga dia meninggal. Pada
waktu itu, Umar sangat memperhatikan keadaan istri-istri Nabi. Tentang hal itu
Aisyah berkata, ‘Umar bin Khaththab selalu memperhatikan keadaan kami dari ujung
kepala sampai ujung kaki. Dia memiliki tempat kurma besar yang selalu diisi
buah-buahan dan kemudian dikirimkan kepada istri-istrii Nabi Shallallahu alaihi
wassalam.’ Begitu juga dengan Utsman bin Affan. Aisyah sangat menghormati
Utsman karena kedudukannya sangat terhormat di hati Rasulullah. Utsman bin
Affan memiliki kedermawanan dan rasa malu yang besar, sehingga Aisyah pernah
berkata, ‘Nabi Shallallahu alaihi wassalam. sangat malu jika bertemu dengan
Utsman. Jika Nabi bertemu dengannya, beliau akan duduk di sampingnya dan
merapikan bajunya.’ Ketika Aisyah menanyakan hal itu, beliau menjawab, ‘Aku
merasa malu kepada seseorang yang kepadanya malaikat sangat malu.”
Di
dalam hadits Nabi, Aisyah meriwayatkan bahwa Rasulullah berwasiat kepada Utsman
agar jangan turun dari kekhalifahan jika belum terlaksana dengan sempurna.
Beliau bersabda, “Wahai Utsman, sesungguhnya pada suatu hari nanti Allah akan
mengangkatmu dalam urusan ini. Jika orang-orang munafik menginginkan agar
engkau meninggalkan baju kebesaran yang Allah pakaikan kepadamu, janganlah
engkau melepaskannya.” Beliau mengulang perkataan tersebut tiga kali. Ketika
Utsman meninggal di tangan pemberontak, Aisyahlah yang pertama menuntut balas
atas kematiannya.
Berkaitan
dengan masalah permusuhan Aisyah dan Ali, terdapat hadits dari Aisyah sendiri
yang menetralkan isu tersebut. Aisyah dan Ali memiliki kedudukan yang mulia dan
terhormat, dan tentunya Aisyah tidak akan melupakan bahwa Ali adalah anak paman
Rasulullah sekaligus sebagai suami dari putri Rasulullah. Aisyah pun tentu
tidak akan melupakan kegigihan Ali dalam berjihad di jalan Allah dan menjadi
orang pertama yang masuk Islam dari kalangan anak-anak. Isu pertentangan Ali
dan Aisyah tentu saja tidak beralasan karena Aisyah sangat meyakini kualitas ilmu
dan sifat amanah Ali. Ketika Suraih bin Hani menanyakan kepada Aisyah tentang
mengusap khuffain (penutup kepala) ketika berwudhu, maka Aisyah menjawab,
“Datanglah kepada Ali, karena dia selalu bepergian (safar) bersama Rasulullah.”
Setelah
Ali wafat, Aisyah senantiasa berada di rumah dan memberikan pelajaran hadits
dan tafsir ayat Al-Qur’an. Aisyah tidak pernah rela membiarkan sepak terjang
Mu’awiyah bin Abu Sufyan yang banyak bertentangan dengan syariat Islam walaupun
Mu’awiyah senantiasa berusaha menarik simpatik dan kerelaan Aisyah. Suatu saat,
Mu’awiyah mengutus seseorang untuk meminta fatwa kepada Aisyah yang isinya,
“Tuliskan untukku, dan jangan terlalu banyak!” Aisyah menjawab, “Salam
sejahtera buatmu. Aku mendengar Rasululiah Shallallahu alaihi wassalam.
bersabda, ‘Barang siapa yang mencari keridhaan Allah sementara manusia marah,
niscaya Allah cukupkan baginya pemaafan manusia. Dan barang siapa yang mencari
keridhaan manusia dengan kemurkaan Allah, niscaya Allah wakilkan masalah
tersebut kepada manusia. Salam sejahtera untukmu.”
I. Wafatnya Aisyah
Dalam
hidupnya yang penuh dengan jihad, Sayyidah Aisyah wafat pada usia 66 tahun,
bertepatan dengan bulan Ramadhan, tahun ke-58 hijriah, dan dikuburkan di Baqi’.
Kehidupan Aisyah penuh kernuliaan, kezuhudan, ketawadhuan, pengabdian
sepenuhnya kepada Rasulullah, selalu beribadah, serta senantiasa melaksanakan
shalat malam. Bahkan dia sering memberikan anjuran untuk shalat malam kepada
kaum muslimin. Dari Abdullah bin Qais, Imam Ahmad menceritakan, “Aisyah berkata,
‘Janganlah engkau tinggalkan shalat malam, karena sesungguhnya Rasulullah tidak
pernah meninggalkannya. Jika beliau sakit atau sedang malas, beliau
melakukannya sambil duduk.” Aisyah memiliki kebiasaan untuk memperpanjang
shalat, sebagaimana diriwayatkan oleh Ahmad dan Abdullah bin Abu Musa, “Mudrik
atau Ibnu Mudrik mengutusku kepada Aisyah untuk menanyakan segala urusan. Aku
tiba ketika dia sedang shalat dhuha, lalu aku duduk sampai dia selesai
melaksanakan shalat. Mereka berkata, ‘Sabar-sabarlah kau menunggunya.” Aisyah
pun senantiasa memperbanyak doa, sangat takut kepada Allah, dan banyak berpuasa
sekalipun cuaca sedang sangat panas. Di dalam Musnad-nya, Ahmad berkata,
“Abdurrahman bin Abu Bakar menemui Aisyah pada hari Arafah yang ketika itu sedang
berpuasa sehingga air yang dia bawa disiramkan kepada Aisyah. Abdurrahman
berkata, ‘Berbukalah.’ Aisyah menjawab, ‘Bagaimana aku akan berbuka sementara
aku mendengar Rasulullah telah bersabda, ‘Sesungguhnya puasa pada hari Arafah
akan menebus dosa-dosa tahun sebelumnya.”
Selain
itu, Aisyah banyak mengeluarkan sedekah sehingga di dalam rumahnya tidak akan
ditemukan uang satu dirham atau satu dinar pun. Nabi Shallallahu alaihi
wassalam. pernah bersabda, “Berjaga dirilah engkau dari api neraka walaupun hanya
dengan sebiji kurma.”
Di
dalam riwayat lain dikatakan, “Aku didatangi oleh seorang ibu yang membawa
dua orang putrinya. Dia meminta sesuatu dariku sedangkan aku tidak memiliki apa
pun untuk diberikan kepada mereka selain satu biji kurma. Aku memberikan kurma
itu kepadanya, dan ibu itu membaginya kepada kedua anaknya. Dia berdiri kern
udian pergi. Setelab itu Rasulullab masuk dan bersabda, ‘Barang siapa mengasuh
anak-anak itu dan berbuat baik kepada mereka, maka mereka akan rnenjadi
penghalang baginya dari api neraka.“ (HR. Muttafaq Alaihi).
Ada
juga riwayat lain yang membuktikan kedermawanan Aisyah. Urwah berkata,
“Mu’awiyah memberikan uang sebanyak seratus ribu dirham kepada Aisyah. Demi
Allah, sebelum matahari terbenam, Aisyah sudah membagi-bagikan sernuanya.
Budaknya berkata, ‘Seandainya engkau belikan daging untuk kami dengan uang satu
dirham.’ Aisyah menjawab, ‘Seandainya engkau katakan hal itu sebelum aku
membagikan seluruh uang itu, niscaya akan aku lakukan hal itu untukmu.”
Semoga
rahmat Allah senantiasa menyertai Sayyidah Aisyah dan semoga Allah
memberinya tempat yang layak di sisi-Nya. Amin.
Sumber:
Buku Dzaujatur-Rasulullah, karya Amru Yusuf, Penerbit Darus-Sa’abu, Riyadh
Walaupun Saudah binti Zum’ah tidak terlalu populer dibandingkan
dengan istri Rasulullah lainnya, dia tetap termasuk wanita yang memiliki
martabat yang mulia dan kedudukan yang tinggi di sisi Allah dan Rasul-Nya. Dia
telah ikut berjihad di jalan Allah dan termasuk wanita yang pertama kali hijrah
ke Madinah. Perjalanan hidupnya penuh dengan teladan yang baik, terutama bagi
wanita-wanita sesudahnya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalm. menikahinya
bukan semata-mata karena harta dan kecantikannya, karena memang dia tidak
tergolong wanita cantik dan kaya. Yang dilihat Rasulullab adalah semangat
jihadnya di jalan Allah, kecerdasan otaknya, perjalanan hidupnya yang
senantiasa baik, keimanan, serta keikhlasannya kepada Allah dan Rasul-Nya.
A. Dia adalah Seorang Janda
Telah
kita ketahui bahwa pada tahun-tahun kesedihan karena ditinggal wafat oleh Abu
Thalib dan Khadijah, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalm. tengah mengalami
rnasa sulit. Kondisi seperti itu dimanfaatkan olah orang-orang Quraisy untuk
rnenyiksa Rasulullah dan kaurn muslimin. Pada tahun-tahun ini, terasa cobaan
dan kesedihan datang sangat besar dan silih berganti.
Ketika
itu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalm. berpikir untuk kembali ke Tsaqif
atau Thaif, dengan harapan agar orang-orang di Thaif memperoleh hidayah untuk
masuk Islam dan membantu beliau. Akan tetapi, masyarakat Tsaqif menolak
mentah-mentah kehadiran beliau, bahkan mereka memerintahkan anak-anak mereka
melempari beliau dengan batu, hingga kedua tumit beliau luka dan berdarah.
Walaupun begitu, beliau tetap sabar, bahkan tetap mendoakan mereka agar memperoleh
hidayah.
Dalam
keadaan kesepian sesudah kematian Khadijah, terjadilah peristiwa Isra’ Mi’raj.
Malaikat Jibril membawa Rasulullah ke Baitul Maqdis dengan kendaraan Buraq,
kemudian menuju langit ke tujuh, dan di sana beliau menyaksikan tanda-tanda
kebesaran Allah. Ketika kembali ke Mekah, beliau menuju Ka’bah dan mengumpulkan
orang-orang untuk mendengarkan kisah perjalanan beliau yang sangat menakjubkan
itu. Kaum musyrikin yang mendengar kisah itu tidak memercayainya, bahkan
mengolok-olok beliau, Bertambahlah hambatan dan rintangan yang harus beliau
hadapi. Dalam kondisi seperti itu, tampillah Saudah binti Zum’ah yang ikut
berjuang dan senantiasa mendukung Rasulullah, kemudian dia menjadi istri
Rasulullah yang kedua setelah Khadijah.
Terdapat
beberapa kisah yang menyertai pernikahan Rasulullah dengan Saudah binti Zum’ah.
Tersebutlah Khaulah binti Hakirn, salah seorang mujahid wanita yang pertama
masuk Islam. Khaulah adalah istri Ustman bin Madh’um. Dia yang dikenal sebagai
wanita yang berpendirian kuat, berani, dan cerdas, sehingga dia memiliki nilai
tersendiri bagi Rasulullah. Melalui kehalusan perasaan dan kelembutan
fitrahnya, Khaulah sangat memahami kondisi Rasulullah yang sangat membutuhkan
pendamping, yang nantinya akan menjaga dan mengawasi urusan beliau serta
mengasuh Ummu Kultsum dan Fathimah setelah Zainab dan Ruqayah menikah. Pada
mulanya, Utsman bin Madh’um kurang sepakat dengan pemikiran Khaulah, karena
khawatir hal itu akan menambah beban Rasulullah, namun dia tetap pada
pendiriannya.
Kemudian
Khaulah menemui Rasulullah dan bertanya langsung tentang orang yang akan
rnengurus rumah tangga beliau. Dengan saksama, beliau mendengarkan seluruh
pernyataan Khaulah karena baru pertama kali ini ada orang yang memperhatikan
masalah rumah tangganya dalam kondisi beliau yang sangat sibuk dalam
menyebarkan agama Allah. Beliau melihat bahwa apa yang diungkapkan Khaulah
mengandung kebenaran, sehingga beliau pun bertanya, “Siapakah yang kau pilih
untukku?” Dia menjawab, “Jika engkau menginginkan seorang gadis, dia adalah
Aisyah binti Abu Bakar, dan jika yang engkau inginkan adalah seorang janda, dia
adalah Saudah binti Zum’ah.” Rasulullah mengingat nama Saudah binti Zum’ah,
yang sejak keislamannya begitu banyak memikul beban perjuangan menyebarkan
Islam, sehingga pilihan beliau jatuh pada Saudah. Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wassalm. memilih janda yang namanya hanya dikenal oleh beberapa orang.
Pernikahan beliau dengannya tidak didorong oleh keinginan untuk memenuhi nafsu
duniawi, tetapi lebih karena Rasulullah yakin bahwa Saudah dapat ikut serta
menjaga keluarga dan rumah tangga beliau setelah Khadijah wafat.
Jika
kita rajin mdnyimak beberapa catatan sejarah tentang kehidupan Rasulullah yang
berkaitan dengan Saudah binti Zum’ah, kita akan menemukan beberapa keterangan
tentang sosok Saudah. Saudah adalah seorang wanita yang tinggi besar, berbadan
gemuk, tidak cantik, juga tidak kaya. Dia adalah janda yang ditinggal mati
suaminya. Rasulullah memilihnya sebagai istri karena kadar keimanannya yang
kokoh. Dia termasuk wanita pertama yang masuk Islam dan sabar menanggung
kesulitan hidup.
B. Nasab dan Keislamannya
Saudah
binti Zum’ah yang bernama lengkap Saudah binti Zum’ah bin Abdi Syamsin bin
Abdud dari Suku Quraisy Amiriyah. Nasabnya ini bertemu dengan Rasulullah pada
Luay bin Ghalib. Di antara keluarganya, dia dikenal memiliki otak cemerlang dan
berpandangan luas. Pertama kali dia menikah dengan anak pamannya, Syukran bin
Amr, dan menjadi istri yang setia dan tulus. Ketika Rasulullah menyebarkan
Islam dengan terang-terangan, suaminya, Syukran, termasuk orang yang pertama
kali menerima hidayah Allah. Dia memeluk Islam bersama kelompok orang dari Bani
Qais bin Abdu Syamsin. Setelah berbai’at di hadapan Nabi, dia segera menemui
istrinya, Saudah, dan memberitakan tentang keislaman serta agama baru yang
dianutnya. Kecemerlangan pikiran dan hatinya menyebabkan Saudah cepat memahami
ajaran Islam untuk selanjutnya mengikuti suami menjadi seorang muslimah.
C. Hijrah ke Habbasyah
Keislaman
Syukran, Saudah, dan beberapa orang yang mengikuti jejak mereka berakibat
cemoohan, penganiayaan, dan pengasingan dari keluarga terdekat mereka. Karena
itu, Syukran menemui Rasulullah beserta beberapa keluarganya yang sudah memeluk
Islam, seperti saudaranya (Saud dan Hatib), keponakannya (Abdullah bin Sahil
bin Amr), ditambah saudara kandung Saudah (Malik bin Zum’ah). Rasulullah
menasihati agar mereka tetap kokoh berpegang pada akidah dan menyarankan agar
mereka hijrah ke Habasyah, mengikuti saudara-saudara seiman yang telah terlebih
dahulu hijrah, seperti Utsman bin Affan dan istrinya, Ruqayah binti Muhammad.
Akhirnya, kaum muslimin memutuskan untuk hijrah. Di antara kaum muslimin yang
hijrah ke dua ke Habasyah, terdapat Saudah yang turut merasakan pedihnya
meninggalkan kampung halaman serta sulitnya menempuh perjalanan dan cuaca buruk
demi menegakkan agama yang diyakininya.
Di
Habasyah mereka disambut dan diperlakukan baik oleh Raja Habasyah walaupun
keyakinan mereka berbeda, sehingga beberapa hari lamanya mereka menjadi tamu
raja. Akan tetapi, rasa rindu mereka dan keinginan untuk melihat wajah
Rasulullah mendera mereka. Sambil menunggu waktu yang tepat untuk kembali ke
Mekah, mereka mengisi waktu dengan mengenang kehangatan berkumpul dengan
Rasulullah dan saudara-saudara seiman di Mekah. Ketika mendengar keislaman Umar
bin Khaththab, mereka menyambut dengan suka cita. Betapa tidak, Umar bin
Khaththab adalah pemuka Quraisy yang disegani. Karena itu, mereka memutuskan
untuk kembali ke Mekah dengan harapan Umar dapat menjamin keselamatan mereka dan
gangguan kaum Quraisy. Di antara mereka yang ikut kembali adalah Syukran bin
Amr. Akan tetapi, dalam perjalanan, Syukran jatuh sakit karena kelaparan sejak
kakinya menginjak tanah Habasyah. Akhirnya dia meninggal di tengah perjalanan
menuju Mekah.
Betapa
sedih perasaan Saudah binti Zum’ah ketika mendengar suaminya meninggal dunia.
Baru saja dia mengalarni betapa sedihnya meninggalkan kampung halaman, sulitnya
perjalanan ke Habasyah, cemoohan, dan penganiayaan orang-orang Quraisy,
sekarang dia harus merasakan sedihnya ditinggal suami. Dia merasa kehilangan
orang yang senantiasa bersamanya dalam jihad di jalan Allah.
D. Rahmat Allah
Saudah
binti Zum’ah menanggung semua derita itu dengan kepasrahan dan ketabahan, serta
menyerahkan semuanya kepada Allah dengan senantiasa mengharapkan keridhaan-Nya.
Dia kembali ke Mekah sebagai satu-satunya janda, dengan perkiraan bahwa keadaan
kaum muslimin di Mekah sudah membaik setelah beberapa pemuka Quraisy menyatakan
memeluk Islam. Akan tetapi, temyata kezaliman orang-orang Quraisy tetap
merajalela. Dalam kondisi seperti itu, tidak ada pilihan lain baginya selain
kembali ke rumah ayahnya, Zum’ah bin Qais yang masih memeluk agama nenek
moyang. Akan tetapi, Zum’ah bin Qais tetap menerima dan rnenghormati putrinya.
Tidak sedikit pun dia berusaha membujuk agar putrinya meninggalkan Islam dan
kembali menganut kepercayaan nenek moyang.
Ketika
Khaulah binti Hakim berusaha mencarikan istri untuk Rasulullah, dia menyebut
nama Saudah. Dalam diri Saudah, Rasulullah tidak meihat kecantikannya, tetapi
lebih melihat bahwa Saudah adalah sosok wanita yang sabar, mujahidah yang
hijrah bersama kaum muslimin, dan mampu menjadi pemimpin di rumah ayahnya yang
masih musyrik. Karena itulah, Rasulullah tergerak menikahinya dan menjadikannya
sebagai istri yang akan meringankan beban hidupnya. Khaulah menemui Saudah dan
menyampaikan kabar gembira bahwa tidak semua wanita dianugerahi Allah menjadi
istri Rasulullah serta menjadi istri manusia yang paling mulia dan hamba
pilihan-Nya. Ketika bertemu dengan Saudah, Khaulah berteriak, “Apa gerangan
yang telah engkau perbuat sehingga Allah memberkahimu dengan nikmat yahg
sebesar ini?
Rasulullah
mengutusku untuk meminang engkau baginya.” Sungguh, hal itu merupakan berita
besar. Saudah tidak pernah memimpikan kehormatan sebesar itu, terutama setelah
orang-orang mencampakkannya karena kematian suaminya. Rasulullah yang mulia
benar-benar akan menjadikannya sebagai istri. Dengan perasaan terharu dia
menyetujui permintaan itu dan meminta Khaulah menemui ayahnya. Setelah Zum’ah
bin Qais mengetahui siapa yang akan meminang putrinya, dan Saudah pun sudah
setuju, lamaran itu langsung diterimanya, kemudian meminta Rasulullah Muhammad
datang ke rumahnya. Rasulullah memenuhi undangan tersebut bersama Khaulah, dan
perkawinan itu terlaksana dengan baik.
E. Berada di Rumah Rasulullah
Saudah
mulai memasuki rumah tangga Rasulullah, dan di dalarnnya dia merasakan
kehormatan yang sangat besar sebagai wanita. Dia merawat Ummu Kultsum dan
Fathimah seperti merawat anaknya sendiri. Ummu Kultsum dan Fathimah pun
menghargai dan memperlakukan Saudah dengan baik.
Saudah
memiliki kelembutan dan kesabaran yang dapat menghibur hati Rasulullah,
sekaligus memberi semangat. Dia tidak terlalu berharap dirinya dapat sejajar
dengan Khadijah di hati Rasulullah. Dia cukup puas dengan posisinya sebagai
istri Rasulullah dan Ummul-Mukminin. Kelembutan dan kemanisan tutur katanya
dapat menggantikan wajahnya yang tidak begitu cantik, tubuhnya yang gemuk, dan
umurnya yang sudah tua. Apa pun yang dia lakukan semata-mata untuk
menghilangkan kesedihan Rasulullah. Sewaktu-waktu dia meriwayatkan
hadits-hadits beliau untuk menunjukkan suka citanya di hadapan Nabi.
Beberapa
bulan lamanya Saudah berada di tengahtengah keluarga Rasulullah. Keakraban dan
keharmonisan mulai terjalin antara dirinya dan Rasulullah. Dia tidak pernah
melakukan apa pun yang dapat menyakitkan Rasulullah. Akan tetapi, pada
dasarnya, dia belum mampu mengisi kekosongan hati Rasulullah, walaupun dia
telah memperoleh limpahan kasih dan beliau, sehingga beberapa saat kemudian
turun wahyu Allah yang memerintahkan Rasulullah menikahi Aisyah binti Abu Bakar
yang masih sangat belia. Rasulullah menemui Abu Bakar dan menjelaskan makna
wahyu Allah kepadanya. Dengan kerelaan hati, Abu Bakar menerima putrinya menikah
dengan Rasulullah, dan disuruhnya Aisyah menemui beliau. Setelah melihat
Aisyah, beliau mengumumkan pinangan terhadap Aisyah.
Lantas,
sikap apa yang dilakukan Saudah ketika mengetahui pertunangan tersebut Dia rela
dan tidak sedikit pun memiliki perasaan cemburu. Dia merelakan madunya berada
di tengah keluarga Rasulullah. Dia merasa cukup bangga menyandang gelar
Ummul-Mukminin, dapat menyayangi Rasulullah, dan dapat meyakini ajarannya,
sehingga dia tidak terpengaruh oleh kepentingan duniawi.
F. Hijrahnya ke Madinah
Pertama
kali Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalm. hijrah ke Madinah tanpa keluarga.
Setelah menetap di sebuah rumah, beliau mengutus seseorang membawa keluarganya,
termasuk Saudah binti Zum’ah. Bersama Ummu Kultsum dan Fathimah, Saudah menuju
Madinah, dan itu merupakan hijrahnya yang kedua setelah ke Habasyah. Bedanya,
sekarang ini dia hijrah menuju negeri muslim yang masyarakatnya sudah berbai’at
setia kepada Rasulullah.
Setelah
masjid Nabawi di Yatsrib selesai dibangun, dibangunlah rumah Rasulullah di
samping masjid tersebut. Di rumah itulah Saudah dan putri-putri Nabi tinggal,
hingga Ummu Kultsum dan Fathimah menyayangi Saudah seperti kepada ibu kandung
sendiri. Setelah masyarakat Is1am di Yatsrib terbentuk dan sarana ibadah selesai
dibangun, Abu Bakar mengingatkan Rasulullah agar segera menikahi putrinya,
“Bukankah engkau hendak membangun keluargamu, ya Rasul?” Ketika itu kehidupan
Rasulullah tersibukkan oleh dakwah dan jihad di jalan Allah, sehingga
kepentingan pribadinya tidak sempat terpikirkan. Ketika Abu Bakar
mengingatkannya, barulah beliau sadar dan segera menikahi Aisyah. Kemudian
beliau membangun kamar untuk Aisyah yang bersebelahan dengan kamar Saudah.
G. Sikap Hidupnya
Sejarah
banyak mencatat sikap Saudah terhadap Aisyah binti Abu Bakar. Wajahnya
senantiasa ceria dan tutur katanya selalu lembut, bahkan dia sering membantu
menyelesaikan urusan-urusan Aisyah, sehingga Aisyah sangat mencintai Saudah.
Begitulah kecintaannya kepada Rasulullah sangat melekat erat di dasar hati. Segala
sesuatunya dia niatkan untuk memperoleh kerelaan Rasulullah melalui pengabdian
yang tulus terhadap keluarga beliau, tanpa keluh kesah. Baginya, kenikmatan
yang paling besar di dunia ini adalah melihat Rasulullah senang dan tertawa.
Aisyah berkata, “Tidak ada wanita yang lebih aku cintai untuk berkumpul
bersamanya selain Sàudah binti Zum’ah, karena dia memiliki keistimewaan yang
tidak dimiiki wanita lain.” Itu merupakan pengakuan Aisyah, wanita yang
pikirannya cerdas dan senantiasa jernih, yang selalu ingin bersama Saudah dalam
jihad, keyakinan, kesabaran, dan keteguhannya. Saudah merelakan malam-malam
gilirannya untuk Aisyah semata-mata untuk memperoleh keridhaan Rasulullah.
Aisyah mengisahkan, ketika usia Saudah semakin uzur dan Rasulullah ingin menceraikannya,
Saudah berkata, “Aku mohon jangan ceraikan diriku. Aku ingin selalu berkumpul
dengan istri-istrimu. Aku rela menyerahkan malam-malamku untuk Aisyah. Aku
sudah tidak menginginkan lagi apa pun yang biasa diinginkan kaum wanita.”
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalm. pun mengurungkan niatnya. Sebenarnya
Rasulullah ingin menceraikan Saudah dengan baik-baik agar Saudah tidak
bermasalah dengan istri-istri beliau yang lainnya. Akan tetapi, Saudah
menginginkan Rasulullah tetap mengikatnya hingga akhir hayatnya agar dia dapat
berkumpul dengan istri-istri Rasulullah. Alasan itulah yang menyebabkan
Rasulullah tetap mempertahankan pernikahannya dengan Saudah.
Saudah
mendampingi Rasulullah dalam Perang Khaibar. Biasanya, sebelum berangkat
berperang, Rasulullah mengundi dahulu istri yang akan menyertai beliau. Dalam
Perang Khaibar, undian jatuh pada diri Saudah, dan kali ini Rasulullah disertai
pendamping yang sabar. Dalam perang ini banyak sekali kesulitan yang dialami
Saudah, karena banyak juga kaum muslimin yang syahid sebelum Allah memberikan
kemenangan kepada mereka. Dalam kemenangannya, kaum muslimin memperoleh banyak
rampasan perang yang belum pernah mereka alami pada peperangan lainnya. Saudah
pun mendapatkan bagian rampasan perang ini. Pada peperangan ini pula Rasulullah
menikahi Shafiyyah binti Huyay bin Akhtab. Mendengar hal itu pun Saudah tetap
rela dan menerima kehadiran Shafiyyah karena hatinya bersih dari sifat iri dan
cemburu.
Saudah
menunaikan haji wada’ bersama istri-istri Rasul lainnya. Setelah Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wassalm. meninggal, Saudah tidak pernah lagi menunaikan
ibadah haji karena khawatir melanggar ketentuan beliau. Beberapa saat setelah
haji wada’, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalm. sakit keras. Beliau meminta
persetujuan istri-istri beliau yang lain untuk tinggal di rumah Aisyah. Ketika
Nabi sakit, Saudah tidak pernah putus-putusnya menjenguk beliau dan membantu
Aisyah sampai beliau wafat. Setelah beliau wafat, dia memutuskan untuk
beribadah dan mendekatkan diri kepada Allah. Harta bagiannya dan BaitulMal
sebagian besar dia salurkan di jalan Allah dengan semata-mata mengharapkan
keridhaan-Nya. Dia tidak pemah meninggalkan kamarnya kecuali untuk kebutuhan
yang mendesak. Pada saat-saat seperti itu Abu Bakar selalu menjenguknya karena
dia tahu bahwa Saudah sangat mencintai putrinya.
Pada
masa kekhalifahan Umar bin Khaththab, Saudah tetap menyendiri untuk beribadah
hingga ajal menjemputnya. Sebagian riwayat menyebutkan bahwa dia meninggal pada
tahun ke-19 Hijrah, sementara itu ada juga riwayat yang mengatakan bahwa dia
meninggal pada tahun ke-54 hijrah. Yang lebih mendekari kebenaran adalah
pendapat pertama, karena pada masa Rasulullah pun Saudah sudah termasuk tua.
H. Sifat dan Keutamaannya
Hal
istimewa yang dimiliki Saudah adalah kekuatannya dan keteguhannya dalam
menanggung derita, seperti pengusiran, penganiayian, dan bentuk kezaliman
lainnya, baik yang datangnya dari kaum Quraisy maupun dan keluarganya sendiri.
Hal seperti itu tidak mudah dia lakukan, karena perjalanan yang harus
ditempuhnya itu sangat sulit serta perasaan yang berat ketika harus
meninggalkan keluarga dan kampung halaman.
Sifat
mulia yang juga menonjol darinya adalah kesabaran dan keridhaannya menerima
takdir Allah ketika suaminya meninggal, harus kembali ke rumah orang tua yang
masih musyrik, hingga Rasulullah memilihnya menjadi istri. Selama berada di
tengah-tengah Rasulullah, keimanan dan ketakwaannya bertambah. Dia pun
bertambah rajin beribadah. Jelasnya, kadar keimanannya berada di atas manusia
rata-rata. Di dalam hatinya tidak pernah ada perasaan cemburu terhadap
istri-istri Rasulullah lainnya.
Saudah
pun dikenal dengan kemurahan hatinya dan suka bersedekah. Pada sebagian riwayat
dikatakan bahwa Saudah paling gemar bersedekah di jalan Allah, baik ketika
Rasulullah masih hidup maupun pada masa berikutnya, yaitu pada masa
kekhalifahan Abu Bakar dan Umar.
Pembawaan
yang ceria dan menyenangkan dia curahkan untuk menghibur Rasulullah. Karakter
seperti itu merupakan teladan yang baik bagi setiap istri hingga saat ini.
Semoga rahmat Allah senantiasa menyertai Sayyidah Saudah binti Zum’ah dan
semoga Allah memberinya tempat yang layak di sisi-Nya. Amin.
Sumber:
Buku Dzaujatur-Rasulullah, karya Amru Yusuf, Penerbit Darus-Sa’abu, Riyadh
Tambahan kisah lainnya:
Dia
adalah wanita pertama yang dinikahi oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa
Sallam sepeninggal khadijah, kemudian menjadi istri satu-satunya bagi
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sampai Rasulullah Shalllallahu ‘Alaihi
wa Sallam masuk berumah tangga dengan Aisyah.
Sebelum
menikah dengan Rasulullloh Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, Saudah telah menikah
dengan Sakran bin Amr Al-Amiry, mereka berdua masuk islam dan kemudian
berhijrah ke Habasyah bersama dengan rombongan shahabat yang lain.
Ketika
Sakran dan istrinya Saudah tiba di Habasyah maka Sakran jatuh sakit dan
meninggal. Maka jadilah Saudah menjanda. Kemudian datanglah Rasulullah
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam meminang saudah dan diterima oleh saudah dan
menikahlah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dengan Saudah pada bulan
Ramadhan.
Saudah
adalah tipe seorang istri yang menyenangkan suaminya dengan kesegaran candanya,
sebagaimana kisah yang diriwayatkan oleh Ibrahim an-Nakha’i bahwasannya saudah
berkata kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, Wahai Rasulullah, tadi
malam aku shalat di belakangmu, ketika ruku’ punggungmu menyentuh hidungmu
dengan keras, maka aku pegang hidungku karena aku takut keluar darah, Maka
tertawalah Rasulullah. Ibrahim berkata: Saudah biasa membuat Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam tertawa dengan candanya. (Thabaqoh Kubra 8/54).
Ketika
Saudah sudah tua Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam berniat hendak
mencerainya, maka saudah berkata kepada Rasulullah shallallahu ‘Alaihi wa
Sallam. Wahai Rasulullah janganlah engkau menceraikanku, bukanlah aku masih
menghendaki laki-laki, tetapi karena aku ingin dibangkitkan dalam keadaan
menjadi istrimu, maka tetapkanlah aku menjadi istrimu dan aku berikan hari
giliranku kepada Aisyah. Maka Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
mengabulkan permohonannya dan tetap menjadikannya menjadi salah satu dari
seorang istrinya sampai Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam meninggal.
Dalam hal ini turunlah ayat Al-Qur’an, yang artinya: “Dan jika seorang
wanita kuatir akan nusyuz atau sikap tidak acuh dari suaminya, maka tidak
mengapa bagi keduanya mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya, dan
perdamaian itu lebih baik..” (QS. An-Nisa’:128). (Sunan Tirmidzi 8/320
dengan sanad yang dihasankan Ibnu Hajar dalam Al-Ishabah 7/720).
Aisyah
berkata: Saudah meminta izin kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
pada waktu malam Muzdalifah untuk berangkat ke Mina sebelum
berdesak-desakkannya manusia, adalah dia perempuan yang berat jika berjalan,
sungguh kalau aku meminta izin kepadanya sungguh lebih aku sukai daripada orang
yang dilapangkan. (Thabaqah Qubra 8/54).
Aisyah
berkata: Aku tidak pernah melihat seorang wanita yang paling aku ingin
sekali menjadi dia daripada Saudah binti Zam’ah, ketika dia tua dia berikan
gilirannya dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam kepada Aisyah. (
Shahih Muslim 2/1085).
Di
antara keutamaan Saudah adalah ketaatan dan kesetiaannya yang sangat kepada
Rasulullah. Ketika haji wada’ Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda
kepada para istri-istrinya: Ini adalah saat haji bagi kalian kemudian
setelah ini hendaknya kalian menahan diri di rumah-rumah kalian, maka
sepeninggal Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa sallam, Saudah selalu di rumahnya
dan tidak berangkat haji lagi sampai dia meninggal. (Sunan Abu Dawud 2/140).
Aisyah
berkata: Sesudah turun ayat tentang hijab, keluarlah saudah di waktu malam
untuk menunaikan hajatnya, dia adalah wanita yang perawakannya tinggi besar
sehingga mudah sekali dibedakan dari wanita lainnya pada saat itu. Saat itu
umar melihatnya dan berkata :wahai saudah demi Allah kami tetap bisa
mengenalimu, maka lihatlah bagaimana engkau keluar, maka Saudah segera kembali
dan menuju kepada Rasulullah yang pada waktu itu di rumah Aisyah, ketika itu
Rasulullah sedang makan malam, di tangannya ada sepotong daging, maka masuklah
Saudah seraya berkata kepadanya: Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku keluar
untuk sebagai keperluanku dalam keadaan berhijab tetapi Umar mengatakan ini dan
itu, maka saat itu turunlah wahyu kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa
Sallam dan kemudian beliau bersabda: Sesungguhnya telah diizinkan bagi
kalian para wanita untuk keluar menunaikan hajatmu.. (Shahih Bukhari dan
Muslim).
Saudah
terkenal juga dengan kezuhudannya, ketika umar mengirin kepadanya satu wadah
berisi dirham, ketika sampai kepadanya maka dibagi-bagikannya (Thabaqah kubra
8/56 dan dishahihkan sanadnya oleh Ibnu Hajar dalam al-Ishobah 7/721).
Saudah
termasuk deretan istri-istri Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam yang
menjaga dan menyamapaikan sunnah-sunnah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa
Sallam. Hadits-haditsnya diriwayatkan oleh para imam yang terkemuka seperti
Imam Ahmad, Imam Bukhari, Abu Dawud dan Nasa’i.
Saudah
meninggal di akhir kekhalifahan Umar di Madinah pada tahun 54 Hijriyah. Sebelum
dia meninggal dia mewariskan rumahnya kepada Aisyah. Semoga Allah meridhainya
dan membalasnya dengan kebaikan yang melimpah.
Sumber
: Sirah nabawiyah Ibnu Hisyam, Siyar a’lamin Nubala oleh Adz-Dzahabi,
Al-Ishabah oleh Ibnu Hajar, Al-Isti’ab oleh Ibnu Abdil barr, Thabaqah Qubra
oleh ibnu Sa’ad
Dalam perjalanan
hidupnya, Ummu Habibah banyak
mengalami penderitaan dan cobaan yang berat. Setelah memeluk Islam, dia bersama
suaminya hijrah ke Habasyah. Di sana, ternyata suaminya murtad dari agama Islam
dan beralih memeluk Nasrani. Suaminya kecanduan minuman keras, dan meninggal
tidak dalam agama Islam. Dalam kesunyian hidupnya, Ummu Habibah selalu diliputi
kesedihan dan kebimbangan karena dia tidak dapat berkumpul dengan keluarganya
sendiri di Mekah maupun keluarga suaminya karena mereka sudah menjauhkannya.
Apakah dia harus tinggal dan hidup di negeri asing sampai wafat?
Allah tidak akan
membiarkan hamba-Nya dalam kesedihan terus-menerus. Ketika mendengar
penderitaan Ummu Habibah, hati Rasulullah sangat tergerak sehingga beliau rnenikahinya
dan Ummu Habibah tidak lagi berada dalam kesedihan yang berkepanjangan. Hal itu
sesuai dengan firman Allah bahwa: Nabi itu lebih utama daripada orang lain
yang beriman, dan istri-istri beliau adalah ibu bagi orang yang beriman.
Keistimewaan Ummu Habibah
di antara istri-istri Nabi lainnya adalah kedudukannya sebagai putri seorang
pemimpin kaum musyrik Mekah yang memelopori perientangan terhadap dakwah
Rasulullah dan kaum muslimin, yaitu Abu Sufyan.
A.
Masa Kecil dan Nasab Pertumbuhannya
Ummu Habibah dilahirkan
tiga belas tahun sebelum kerasulan Muhammad Shalalahu ‘Alaihi Wassalam. dengan
nama Ramlah binti Shakhar bin Harb bin Uinayyah bin Abdi Syams. Ayahnya dikenal
dengan sebutan Abu Sufyan. Ibunya bernama Shafiyyah binti Abil Ashi bin Umayyah
bin Abdi Syams, yang merupakan bibi sahabat Rasulullah, yaitu Utsman bin Affan
r.a.. Sejak kecil Ummu Habibah terkenal memiliki kepribadian yang kuat,
kefasihan dalam berbicara, sangat cerdas, dan sangat cantik.
B.
Pernikahan, Hijrah, dan Penderitaannya
Ketika usia Ramlah sudah
cukup untuk menikah, Ubaidillah bin Jahsy mempersunting- nya, dan Abu Sufyan
pun menikahkan mereka. Ubaidillah terkenal sebagai pemuda yang teguh memegang
agama Ibrahirn a.s.. Dia berusaha menjauhi minuman keras dan judi, serta
berjanji untuk memerangi agama berhala. Ramlah sadar bahwa dirinya telah
menikah dengan seseorang yang bukan penyembah berhala, tidak seperti kaumnya
yang membuat dan menyembah patung-patung. Di dalarn hatinya terbersit keinginan
untuk mengikuti suaminya memeluk agama Ibrahim a.s.
Sementara itu, di Mekah
mulai tersebar berita bahwa Muhammad datang membawa agama baru, yaitu agama
Samawi yang berbeda dengan agama orang Quraisy pada umumnya. Mendengar kabar
itu, hati Ubaidillah tergugah, kemudian menyatakan dirinya memeluk agama baru
itu. Dia pun mengajak istrinya, Ramlah, untuk memeluk Islam bersamanya.
Mendengar misi Muhammad
berhasil dan maju pesat, orang-orang Quraisy menyatakan perang terhadap kaum
muslimin sehingga Rasulullah memerintahkan kaum muslimin untuk berhijrah ke
Habasyah. Di antara mereka terdapat Ramlah dan suaminya, Ubaidillah bin Jahsy.
Setelah beberapa lama mereka menanggung penderitaan berupa penganiayaan,
pengasingan, bahkan pengusiran dan keluarga yang terus mendesak agar mereka
kembali kepada agama nenek moyang. Ketika itu Ramlah tengah mengandung bayinya
yang pertama. Setibanya di Habasyah, bayi Ramlah lahir yang kemudian diberi
nama Habibah. Dari nama bayi inilah kemudian nama Ramlah berubah menjadi Ummu
Habibah.
Selama mereka di
Habasyah terdengar kabar bahwa kaum muslimin di Mekah semakin kuat dan
jumlahnya bertambah sehingga mereka menetapkan untuk kembali ke negeri asal
mereka. Sementara itu, Ummu Habibah dan suaminya memilih untuk menetap di
Habasyah. Di tengah perjalanan, rombongan kaum muslimin yang akan kembali ke
Mekah mendengar kabar bahwa keadaan di Mekah masih gawat dan orang-orang
musyrik semakin meningkatkan tekanan dan boikot terhadap kaum muslimin.
Akhirnya mereka memutuskan untuk kembali ke Habasyah.
Beberapa tahun tinggal
di Habasyah, kaum muslimin sangat mengharapkan kesedihan akan cepat berlalu dan
barisan kaum muslimin menjadi kuat, namun kesedihan belum habis. Kondisi itulah
yang menyebabkan Ubaidillah memiliki keyakinan bahwa kaum muslimin tidak akan
pernah kuat. Tampaknya dia sudah putus asa sehingga sedikit demi sedikit
hatinya mulai condong pada agama Nasrani, agama orang Habasyah.
Ummu Habibah mengatakan
bahwa dia memimpikan sesuatu, “Aku melihat suamiku berubah menjadi manusia
paling jelek bentuknya. Aku terkejut dan berkata, ‘Demi Allah, keadaannya telah
berubah.’ Pagi harinya Ubaidillah berkata, ‘Wahai Ummu Habibah, aku melihat
tidak ada agama yang lebih baik daripada agama Nasrani, dan aku telah
menyatakan diri untuk memeluknya. Setelah aku memeluk agama Muhammad, aku akan
memeluk agama Nasrani.’ Aku berkata, ‘Sungguhkah hal itu baik bagimu?’ Kemudian
aku ceritakan kepadanya tentang mimpi yang aku lihat, namun dia tidak
mempedulikannya. Akhirnya dia terus-menerus meminum minuman keras sehingga
merenggut nyawanya.”
Demikianlah, Ubaidillah
keluar dan agama Islam yang telah dia pertaruhkan dengan hijrah ke Habasyah,
dengan menanggung derita, meninggalkan kampung halaman bersama istri dan
anaknya yang masih kecil. Ubaidillah pun berusaha mengajak istrinya untuk
keluar dari Islam, namun usahanya sia-sia karena Ummu Habibah tetap kokoh dalam
Islam dan memertahankannya hingga suaminya meninggal. Ummu Habibah merasa
terasing di tengah kaum muslimin karena merasa malu atas kernurtadan suaminya.
Baginya tidak ada pilihan lain kecuali kembali ke Mekah, padahal orang tuanya,
Abu Sufyan, sedang gencar menyerang Nabi dan kaurn muslimin. Dalam keadaan
seperti itu, Ummu Habibah merasa rumahnya tidak aman lagi baginya, sementara
keluarga suarninya telah meeninggalkan rumah mereka karena telah bergabung
dengan Rasulullah. Akhirnya, dia kembali ke Habasyah dengan tanggungan derita
yang berkepanjangan dan menanti takdir dari Allah.
C.
Menjadi Ummul-Mukminin
Rasulullah Shalalahu
‘Alaihi Wassalam. selalu memantau keadaan umat Islam, tidak saja yang berada di
Mekah dan Madinah, tetapi juga yang di Habasyah. Ketika memantau Habasyahlah
beliau mendengar kisah tentang Ummu Habibah yang ditinggalkan Ubaidillah dengan
derita yang ditanggungnya selama ini. Hati beliau terketuk dan berniat
menikahinya.
Ummu Habibah
menceritakan mimpi dan kehidupannya yang suram. Dia berkata, “Dalam tidurku aku
melihat seseorang menjumpaiku dan memanggilku dengan sebutan Ummul-Mukminin.
Aku terkejut. Kemudian aku mentakwilkan bahwa Rasulullah akan menikahiku.” Dia
melanjutkan, “Hal itu aku lihat setelah masa iddahku habis. Tanpa aku sadari
seorang utusan Najasyi mendatangiku dan meminta izin, dia adalah Abrahah,
seorang budak wanita yang bertugas mencuci dan memberi harum-haruman pada
pakaian raja. Dia berkata, ‘Raja berkata kepadamu, ‘Rasulullah mengirimku surat
agar aku mengawinkan kamu dengan beliau.” Aku menjawab, ‘Allah memberimu kabar
gembira dengan membawa kebaikan.’ Dia berkata lagi, ‘Raja menyuruhmu menunjuk
seorang wali yang hendak rnengawinkanmu’. Aku menunjuk Khalid bin Said bin Ash
sebagai waliku, kemudian aku memberi Abrahah dua gelang perak, gelang kaki yang
ada di kakiku, dan cincin perak yang ada di jari kakiku atas kegembiraanku
karena kabar yang dibawanya.” Ummu Habibah kembali dan Habasyah bersarna
Syarahbil bin Hasanah dengan membawa hadiah-hadiah dari Najasyi, Raja Habasyah.
Berita pernikahan Ummu
Habibah dengan Rasulullah merupakan pukulan keras bagi Abu Sufyan. Tentang hal
itu, Ibnu Abbas meriwayatkan firman Allah, “Mudah-mudahan Allah menimbulkan
kasih sayang antaramu dengan orangorang yang kamu musuhi di antara mereka. …“
(QS. Al-Mumtahanah: 7). Ayat ini turun ketika Nabi Shalalahu ‘Alaihi
Wassalam. menikahi Ummu Habibah binti Abi Sufyan.
D.
Hidup bersama Rasulullah Shalalahu ‘Alaihi Wassalam.
Rasululullah Shalalahu
‘Alaihi Wassalam. mengutus Amru bin Umayyah ke Habasyah dengan membawa dua
tugas, yaitu mengabari kaum Muhajirin untuk kembali ke negeri mereka (Madinah)
karena posisi kaum muslimin sudah kuat serta untuk meminang Ummu Habibah untuk
Rasulullah. Di tengah perjalanan kembali ke Madinah mereka mendengar berita
kernenangan kaum muslimin atas kaum Yahudi di Khaibar. Kegembiraan itu pun
mereka rasakan di Madinah karena saudara mereka telah kembali dan Habasyah.
Rasulullah menyambut mereka yang kembali dengan suka cita, terlebih dengan
kedatangan Ummu Habibah. Beliau mengajak Ummu Habibah ke dalarn rumah, yang
ketika itu bersarnaan juga dengan pernikahan beliau dengan Shafiyyah binti
Huyay bin Akhtab, putri salah seorang pimpinan Yahudi Khaibar yang ditawan
tentara Islam. Ketika itu Nabi mernbebaskan dan menikahinya. Istri-istri
Rasulullah lainnya menyambut kedatangan Ummu Habibah dengan hangat dan rasa
hormat, berbeda dengan penyambutan mereka terhadap Shafiyyah.
Perjalanan hidup Ummu
Habibah di tengah keluarga Rasulullah tidak banyak menimbulkan konflik antar
istri atau mengundang amarah beliau. Selain itu, belum juga ada riwayat yang
mengisahkan tingkah laku Ummu Habibah yang menunjukkan rasa cemburu.
E.
Posisi yang Sulit
Telah kita sebutkan di
atas tentang posisi Ummu Habibah yang istimewa di antara istri-istri
Rasulullah. Ayahnya adalah seorang pemimpin kaum musyrik ketika Ummu Habibah
mendapat cahaya keimanan, dan dia menghadapi kesulitan ketika harus menjelaskan
keyakinan itu kepada orang tuanya.
Orang-orang Quraisy
mengingkari perjanjian yang telah mereka tanda-tangani di Hudaibiyah bersama
Rasulullah. Mereka menyerang dan membantai Bani Qazaah yang telah terikat
perjanjian perlindungan dengan kaum muslimin. Untuk mengantisipasi hal itu,
Rasulullah berinisiatif menyerbu Mekah yang di dalamnya tinggal Abu Sufyan dan
keluarga Ummu Habibah. Orang-orang Quraisy Mekah sudah mengira bahwa kaum
muslimin akan menyerang mereka sebagai balasan atas pembantaian atas Bani
Qazaah yang mereka lakukan. Mereka sudah mengetahui kekuatan pasukan kaum
muslimin sehingga mereka memilih jalan damai. Diutuslah Abu Sufyan yang dikenal
dengan kemampuan dan kepintarannya dalam berdiplomasi untuk berdamai dengan
Rasulullah.
Sesampainya di Madinah,
Abu Sufyan tidak langsung menemui Rasulullah, tetapi terlebih dahulu rnenemui
Ummu Habibah dan berusaha rnemperalat putrinya itu untuk kepentingannya. Betapa
terkejutnya Ummu Habibah ketika melibat ayahnya berada di dekatnya setelah
sekian tahun tidak berjumpa karena dia hijrah ke Habasyah. Di sinilah tampak
keteguhan iman dan cinta Ummu Habibah kepada Rasulullah. Abu Sufyan menyadari
keheranan dan kebingungan putrinya, sehingga dia tidak berbicara. Akhirnya Abu
Sufyan masuk ke kamar dan duduk di atas tikar. Melihat itu, Ummu Habibah segera
melipat tikar (kasur) sehingga tidak diduduki oleh Abu Sufyan. Abu Sufyan
sangat kecewa melihat sikap putrinya, kemudian berkata, “Apakah kau melipat
tikar itu agar aku tidak duduk di atasnya atau rnenyingkirkannya dariku?” Ummu
Habibah menjawab, “Tikar ini adalah alas duduk Rasulullah, sedangkan engkau
adalah orang musyrik yang najis. Aku tidak suka engkau duduk di atasnya.”
Setelah itu Abu Sufyan pulang dengan merasakan pukulan berat yang tidak diduga
dari putrinya. Dia merasa bahwa usahanya untuk menggagalkan serangan kaurn
muslimin ke Mekah telah gagal. Ummu Habibah telah menyadari apa yang akan
terjadi. Dia yakin akan tiba saatnya pasukan muslim menyerbu Mekah yang di
dalarnnya terdapat keluarganya, namun yang dia ingat hanya Rasulullah. Dia mendoakan
kaum muslimin agar rnemperoleh kemenangan.
Allah mengizinkan kaum
muslimin untuk mernbebaskan Mekah. Rasulullah bersama ribuan tentara Islam
memasuki Mekah. Abu Sufyan merasa dirinya sudah terkepung puluhan ribu tentara.
Dia merasa bahwa telah tiba saatnya kaum muslimin membalas sikapnya yang selama
ini menganiaya dan menindas mereka. Rasulullah sangat kasihan dan mengajaknya
memeluk Islam. Abu Sufyan menerrna ajakan tersebut dan menyatakan keislamannya
dengan kerendahan diri. Abbas, paman Rasulullah, meminta beliau menghormati Abu
Sufyan agar dirinya merasa tersanjung atas kebesarannya. Abbas berkata,
“Sesungguhnya Abu Sufyan itu seorang yang sangat suka disanjung.” Di sini
tampaklah kepandaian dan kebijakan Rasulullah. Beliau menjawab, “Barang siapa yang
memasuki rumah Abu Sufyan, dia akan selamat. Barang siapa yang menutup pintu
rumahnya, dia pun akan selamat. Dan barang siapa yang memasuki Masjidil Haram,
dia akan selamat.” Begitulah Rasulullah menghormati kebesaran seseorang, dan
Allah telah memberi jalan keluar yang baik untuk menghilangkan kesedihan Ummu
Habibah dengan keislaman ayahnya.
F.
Akhir sebuah Perjalanan
Setelah Rasulullah
Shalalahu ‘Alaihi Wassalam. wafat, Ummu Habibah hidup menyendiri di rumahnya
hanya untuk beribadah dan mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Dalam kejadian fitnah besar atas kematian Utsman bin Affan, dia tidak berpihak
kepada siapa pun. Bahkan ketika saudaranya, Mu’awiyah bin Abu Sufyan, berkuasa,
sedikit pun dia tidak berusaha mengambil kesempatan untuk menduduki posisi
tertentu. Dia juga tidak pernah menyindir Ali bin Abi Thalib lewat sepatah kata
pun ketika bermusuhan dengan saudaranya itu. Dia pun banyak meriwayatkan hadits
Nabi yang kemudian diriwayatkan kembali oleh para sahabat. Di antara hadits
yang diriwayatkannya adalah: “Aku mendengar Rasulullah bersabda,
“Barang siapa yang
shalat sebanyak dua belas rakaat sehari semalam, niscaya Allah akan membangun
baginya rumah di surga.’ Ummu Habibah berkata, “Sungguh aku tidakpernah
meninggalkannya setelab aku mendengar dari Rasulullah Shalalahu ‘Alaihi
Wassalam.” (HR. Muslim)
Ummu Habibah wafat pada
tahun ke-44 hijrah dalarn usia tujuh puluh tahun. Jenazahnya dikuburkan di
Baqi’ bersama istri-istri Rasulullah yang lain. Semoga Allah memberinya
kehormatan di sisi-Nya dan menempatkannya di tempat yang layak penuh berkah.
Amin.
Sumber:
Buku Dzaujatur-Rasulullah, karya Amru Yusuf, Penerbit Darus-Sa’abu, Riyadh
Pernikahan Rasulullah
Shallallahu Alaihi Wassalam dengan Zainab binti Jahsy didasarkan pada perintah
Allah sebagai jawaban terhadap tradisi jahiliah. Zainab binti Jahsy adalah
istri Rasulullah yang berasal dan kalangan kerabat sendiri. Zainab adalah anak
perempuan dan bibi Rasulullah, Umaimah binti Abdul Muththalib. Beliau sangat
mencintai Zainab.
Nasab
dan Masa Pertumbuhannya
Nama lengkap Zainab
adalah Zainab binti Jahsy bin Ri’ab bin Ya’mar bin Sharah bin Murrah bin Kabir
bin Gham bin Dauran bin Asad bin Khuzaimah. Sebelum menikah dengan Rasulullah,
namanya adalah Barrah, kemudian diganti oleh Rasulullah menjadi Zainab setelah
menikah dengan beliau. Ibu dari Zainab bernama Umaimah binti Abdul-Muthalib bin
Hasyim bin Abdi Manaf bin Qushai. Zainab dilahirkan di Mekah dua puluh tahun
sebelurn kenabian. Ayahnya adalah Jahsy bin Ri’ab. Dia tergolong pernimpin
Quraisy yang dermawan dan berakhlak baik. Zainab yang cantik dibesarkan di
tengah keluarga yang terhormat, sehingga tidak heran jika orang-orang Quraisy
rnenyebutnya dengan perempuan Quraisy yang cantik.
Zainab termasuk wanita
pertarna yang memeluk Islam. Allah pun telah menerangi hati ayah dan
keluarganya sehingga memeluk Islam. Dia hijrah ke Madinah bersama keluarganya.
Ketika itu dia masih gadis walaupun usianya sudah layak menikah.
Pernikahannya
dengan Zaid bin Haritsah
Terdapat beberapa ayat
A1-Qur’an yang mernerintahkan Zainab dan Zaid melangsungkan pernikahan. Zainab berasal
dan golongan terhormat, sedangkan Zaid bin Haritsah adalah budak Rasulullah
yang sangat beliau sayangi, sehingga kaum muslimin menyebutnya sebagai orang
kesayangan Rasulullah. Zaid berasal dari keluarga Arab yang kedua orang tuanya
beragama Nasrani. Ketika masih kecil, dia berpisah dengan kedua orang tuanya
karena diculik, kemudian dia dibeli oleh Hakam bin Hizam untuk bibinya,
Khadijah binti Khuwailid r.a., lalu dihadiahkannya kepada Rasulullah
Shallallahu Alaihi Wassalam.
Ayah Zaid, Haritsah bin
Syarahil, senantiasa mencarinya hingga dia mendengar bahwa Zaid berada di rumah
Rasulullah. Ketika Rasulullah menyuruh Zaid memilih antara tetap bersama beliau
atau kembali pada orang tua dan pamannya, Zaid berkata, “Aku tidak menginginkan
mereka berdua, juga tidak menginginkan orang lain yang engkau pilihkan untukku.
Engkau bagiku adalah ayah sekaligus paman.” Setelah itu, Rasulullah mengumumkan
pembebasan Zaid dan pengangkatannya sebagai anak. Ketika Islam datang, Zaid
adalah orang yang pertama kali memeluk Islam dari kalangan budak. Dia
senantiasa berada di dekat Nabi, terutama setelah dia rneninggalkan Mekah,
sehingga beliau sangat mencintainya, bahkan beliau pernah bersabda tentang
Zaid,
“Orang yang aku cintai
adalah orang yang telah Allah dan aku beri nikmat. (HR. Ahmad)
Allah telah memberikan
nikmat kepada Zaid dengan keislamannya dan Nabi telah memberinya nikmat dengan
kebebasannya. Ketika Rasulullah hijrah ke Madinah, beliau mempersaudarakan Zaid
dengan Hamzah bin Abdul Muththalib. Dalam banyak peperangan, Zaid selalu
bersama Rasulullah, dan tidak jarang pula dia ditunjuk untuk menjadi komandan
pasukan. Tentang Zaid, Aisyah pernah berkata, “Rasulullah tidak mengirimkan
Zaid ke medan perang kecuali selalu menjadikannya sebagai komandan pasukan,
Seandainya dia tetap hidup, beliau pasti menjadikannya sebagai pengganti
beliau.”
Masih banyak riwayat
yang menerangkan kedudukan Zaid di sisi Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam..
Sesampainya di Madinah beliau meminang Zainab binti Jahsy untuk Zaid bin
Haritsah. Semula Zainab membenci Zaid dan menentang menikah dengannya, begitu
juga dengan saudara laki-lakinya. Menurut mereka, bagaimana mungkin seorang
gadis cantik dan terhormat menikah dengan seorang budak? Rasulullah menasihati
mereka berdua dan menerangkan kedudukan Zaid di hati beliau, sehingga turunlah
ayat kepada mereka:
“Dan tidaklah patut bagi
laki -laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila
Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka
pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barang siapa mendurhakai Allah
dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata.“ (Q.S.
Al-Ahzab: 36)
Akhirnya Zainab menikah
dengan Zaid sebagai pelaksanaan atas perintah Allah, meskipun sebenarnya Zainab
tidak menyukai Zaid. Melalui pernikahan itu Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam.
ingin menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan di antara manusia kecuali dalam
ketakwaan dan amal perbuatan mereka yang baik. Pernikahan itu pun bertujuan
untuk menghilangkan tradisi jahiliah yang senang membanggakan diri dan
keturunan. Akan tetapi, Zainab tetap tidak dapat menerima pernikahan tersebut
karena ada perbedaan yang jauh di antara mereka berdua. Di depan Zaid, Zainab
selalu membangga-banggakan dirinya sehingga menyakiti hati Zaid. Zaid menghadap
Rasulullah untuk mengadukan perlakukan Zainab terhadap dirinya. Rasulullah
Shallallahu Alaihi Wassalam. menyuruhnya untuk bersabar, dan Zaid pun mengikuti
nasihat beliau. Akan tetapi, dia kembali menghadap Rasulullah dan menyatakan bahwa
dirinya tidak mampu lagi hidup bersama Zainab.
Mendengar itu, beliau
bersabda, “Pertahankan terus istrimu itu dan bertakwalah kepada Allah.”
Kemudian beliau mengingatkan bahwa pernikahan itu merupakan perintah Allah.
Beberapa saat kemudian turunlah ayat, “Pertahankan terus istrimu dan
bertakwalah kepada Allah.” Zaid berusaha menenangkan din dan bersabar, namun
tingkah laku Zainab sudah tidak dapat dikendalikan, akhirnya terjadilah talak.
Selanjutnya, Zainab dinikahi Rasulullah.
Prinsip dasar yang
melatarbelakangi pernikahan Rasulullah dengan Zainab binti Jahsy adalah untuk
menghapuskan tradisi pengangkatan anak yang berlaku pada zaman jahiliah.
Artinya, Rasulullah ingin menjelaskan bahwa anak angkat tidak sama dengan anak
kandung, seperti halnya Zaid bin Haritsah yang sebelum turun ayat Al-Qur’an
telah diangkat sebagai anak oleh beliau. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman,
“Panggillah mereka
(anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka,’ itulah yang
lebih adil pada sisi Allah, dan jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka,
maka (panggillah mereka sebagai) saudara-saudara seagama dan maula-maulamu.”
(QS. Al-Ahzab:5)
Karena itu, seseorang
tidak berhak mengakui hubungan darah dan meminta hak waris dan orang tua angkat
(bukan kandung). Karena itulah Rasulullah menikahi Zainab setelah bercerai
dengan Zaid yang sudah dianggap oleh orang banyak sebagai anak Muhammad. Allah
telah menurunkan wahyu agar Zaid menceraikan istrinya kemudian dinikahi oleh
Rasulullah. Pada mulanya Rasulullab tidak memperhatikan perintah tersebut,
bahkan meminta Zaid mempertahankan istrinya. Allah memberikan peringatan sekali
lagi dalam ayat:
“Dan (ingatlah), ketika
kamu berkata kepada orang yang Allah telah melimpahkan nikmat kepadanya dan
kamu (juga) telah memberi nikmat kepadanya, ‘Tahanlah terus istrimu dan
bertakwalah kepada Allah, ‘sedang kamu menyembunyikan dalam hatimu apa yang
Allah akan menyatakannya, dan kamu takut kepada manusia, sedang Allah- lah yang
lebih berhak untuk kamu takuti. Maka tatkala Zaid telah mengakhiri keperluan
terhadap istrinya (menceraikannya), Kami kawinkan kamu dengan dia supaya tidak
ada keberatan bagi orang mukmin untuk (mengawini) istri-istri anak- anak angkat
mereka, apabila anak-anak angkat itu telah menyelesaikan keperluan daripada istrinya.
Dan adalah ketetapan Allah itu pasti terjadi.“ (QS. Al-Ahzab:37)
Ayat di atas merupakan
perintah Allah agar Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam. menikahi Zainab dengan
tujuan meluruskan pemahaman keliru tentang kedudukan anak angkat.
Menjadi
Ummul-Mukminin
Rasulullah Shallallahu
Alaihi Wassalam. mengutus seseorang untuk mengabari Zainab tentang perintah
Allah tersebut. Betapa gembiranya hati Zainab mendengar berita tersebut, dan
pesta pernikahan pun segera dilaksanakan serta dihadiri warga Madinah.
Zainab mulai memasuki
rurnah tangga Rasulullah dengan dasar wahyu Allah. Dialah satu-satunya istri
Nabi yang berasal dan kerabat dekatnya. Rasulullah tidak perlu meminta izin
jika memasuki rumah Zainab sedangkan kepada istri-istri lainnya beliau selalu meminta
izin. Kebiasaan seperti itu ternyata menimbulkan kecemburuan di hati istri
Rasul lainnya.
Orang-orang munafik yang
tidak senang dengan perkembangan Islam membesar-besarkan fitnah bahwa
Rasulullah telah menikahi istri anaknya sendiri. Karena itu, turunlah ayat yang
berbunyi,
“Muhammad itu
sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu, tetapi dia
adalah Rasulullah dan penutup nabi-nabi…. “ (Qs. Al-Ahzab: 40)
Zainab berkata kepada
Nabi, “Aku adalah istrimu yang terbesar haknya atasmu, aku utusan yang terbaik
di antara mereka, dan aku pula kerabat paling dekat di antara mereka. Allah
menikahkanku denganmu atas perintah dan langit, dan Jibril yang membawa
perintah tersebut. Aku adalah anak bibimu. Engkau tidak memiliki hubungan
kerabat dengan mereka seperti halnya denganku.” Zainab sangat mencintai
Rasulullah dan merasakan hidupnya sangat bahagia. Akan tetapi, dia sangat
pencemburu terhadap istri Rasul lainnya, sehingga Rasulullah pernah tidak tidur
bersamanya selama dua atau tiga bulan sebagai hukuman atas perkataannya yang
menyakitkan hati Shafiyyah binti Huyay bin Akhtab wanita Yahudiyah itu.
Zainab bertangan
terampil, menyamak kulit dan menjualnya, juga mengerjakan kerajinan sulaman,
dan hasilnya diinfakkan di jalan Allah.
Wafatnya
Zainab binti Jahsy
adalah istri Rasulullah yang pertama kali wafat menyusul beliau, yaitu pada
tahun kedua puluh hijrah, pada masa kekhalifahan Umar bin Khattab, dalarn
usianya yang ke-53, dan dimakamkan di Baqi. Dalarn sebuah riwayat dikatakan
bahwa Zainab berkata menjelang ajalnya, “Aku telah rnenyiapkan kain kafanku,
tetapi Umar akan mengirim untukku kain kafan, maka bersedekahlah dengan salah
satunya. Jika kalian dapat bersedekah dengan sernua hak-hakku, kerjakanlah dari
sisi yang lain.” Sernasa hidupnya, Zainab banyak mengeluarkan sedekah di jalan
Allah.
Tentang Zainab, Aisyah
berkata, “Semoga Allah mengasihi Zainab. Dia banyak menyamaiku dalarn
kedudukannya di hati Rasulullah. Aku belum pernah melihat wanita yang lebih
baik agamanya daripada Zainab. Dia sangat bertakwa kepada Allah, perkataannya
paling jujur, paling suka menyambung tali silaturahmi, paling banyak
bersedekah, banyak mengorbankan diri dalam bekerja untuk dapat bersedekah, dan
selalu mendekatkan diri kepada Allah. Selain Saudah, dia yang memiliki tabiat
yang keras.”
Semoga Allah memberikan
kemuliaan kepadanya (Sayyidah Zainab Binti Jahsy) di akhirat dan ditempatkan
bersama hamba-hamba yang saleh. Amin.
Sumber:
Buku Dzaujatur-Rasulullah , karya Amru Yusuf, Penerbit Darus-Sa’abu, Riyadh
Hafshah binti Umar bin
Khaththab adalah putri seorang
laki-laki yang terbaik dan mengetahui hak-hak Allah dan kaum muslimin. Umar bin
Khaththab adalah seorang penguasa yang adil dan memiliki hati yang sangat
khusyuk. Pernikahan Rasulullah . dengan Hafshah merupakan bukti cinta kasih
beliau kepada mukminah yang telah menjanda setelah ditinggalkan suaminya,
Khunais bin Hudzafah as-Sahami, yang berjihad di jalan Allah, pernah berhijrah
ke Habasyah, kemudian ke Madinah, dan gugur dalam Perang Badar. Setelah suami
anaknya meninggal, dengan perasaan sedih, Urnar menghadap Rasulullah untuk
mengabarkan nasib anaknya yang menjanda. Ketika itu Hafshah berusia delapan
belas tahun. Mendengar penuturan Umar, Rasulullah memberinya kabar gembira
dengan mengatakan bahwa beliau bersedia menikahi Hafshah.
Jika kita menyebut narna
Hafshah, ingatan kita akan tertuju pada jasa-jasanya yang besar terhadap kaum
muslimin saat itu. Dialah istri Nabi yang pertama kali menyimpan Al-Qur’an
dalam bentuk tulisan pada kulit, tulang, dan pelepah kurma, hingga kemudian
menjadi sebuah kitab yang sangat agung.
Nasab dan Masa Petumbuhannya
Nama lengkap Hafshah
adalah Hafshah binti Umar bin Khaththab bin Naf’al bin Abdul-Uzza bin Riyah bin
Abdullah bin Qurt bin Rajah bin Adi bin Luay dari suku Arab Adawiyah. Ibunya
adalah Zainab binti Madh’un bin Hubaib bin Wahab bin Hudzafah, saudara
perempuan Utsman bin Madh’un. Hafshah dilahirkan pada tahun yang sangat
terkenal dalam sejarah orang Quraisy, yaitu ketika Rasullullah . memindahkan
Hajar Aswad ke tempatnya semula setelah Ka’bah dibangun kembali setelah roboh
karena banjir. Pada tahun itu juga dilahirkan Fathimah az-Zahra, putri bungsu
Rasulullah dari empat putri, dan kelahirannya disambut gembira oleh beliau.
Beberapa hari setelah Fathimah lahir, lahirlah Hafshah binti Umar bin
Khaththab. Mendengar bahwa yang lahir adalah bayi wanita, Umar sangat berang
dan resah, sebagaimana kebiasaan bapak-bapak Arab Quraisy ketika mendengar
berita kelahiran anak perempuannya. Waktu itu mereka menganggap bahwa kelahiran
anak perempuan telah membawa aib bagi keluarga. Padahal jika saja ketika itu
Umar tahu bahwa kelahiran anak perempuannya akan membawa keberuntungan, tentu
Umar akan menjadi orang yang paling bahagia, karena anak yang dinamai Hafshah
itu kelak menjadi istri Rasulullah. Di dalam Thabaqat, Ibnu Saad berkata,
“Muhammad bin Umar berkata bahwa Muhammad bin Zaid bin Aslam, dari ayahnya,
dari kakeknya, Umar mengatakan, ‘Hafshah dilahirkan pada saat orang Quraisy
membangun Ka’bah, lima tahun sebe1um Nabi diutus menjadi Rasul.”
Sayyidah Hafshah r.a.
dibesarkan dengan mewarisi sifat ayahnya, Urnar bin Khaththab. Dalarn soal
keberanian, dia berbeda dengan wanita lain, kepribadiannya kuat dan ucapannya
tegas. Aisyah melukiskan bahwa sifat Hafshah sarna dengan ayahnya. Kelebihan
lain yang dirniliki Hafshah adalah kepandaiannva dalarn rnernbaca dan menulis,
padahal ketika itu kernampuan tersebut belum lazirn dirniliki oleh kaurn
perempuan.
Memeluk Islam
Hafshah tidak termasuk
ke dalam golongan orang yang pertama masuk Islam, karena ketika awal-awal
penyebaran Islam, ayahnya, Urnar bin Khaththab, masih menjadi musuh utama umat
Islam hingga suatu hari Umar tertarik untuk masuk Islam. Ketika suatu waktu
Umar mcngetahui keislarnan saudara perernpuannya, Fathimah dan suarninya Said
bin Zaid, dia sangat marah dan berniat menyiksa mereka. Sesampainya di rumah saudara
perempuannya, Umar mendengar bacaan Al-Qur’an yang mengalun dan dalam rumah,
dan memuncaklah amarahnya ketika dia memasuki rumah tersebut. Tanpa ampun dia
menampar mereka hingga darah mengucur dari kening keduanya. Akan tetapi, hal
yang tidak terduga terjadi, hati Umar tersentuh ketika meihat darah mengucur
dari dahi adiknya, kernudian diarnbilnyalah Al Qur’an yang ada pada mereka.
Ketika selintas dia membaca awal surat Thaha, terjadilah keajaiban. Hati Umar
mulai diterangi cahaya kebenaran dan keimanan. Allah telah mengabulkan doa Nabi
. yang mengharapkan agar Allah membuka hati salah seorang dari dua Umar kepada
Islam. Yang dimaksud Rasulullah dengan dua Umar adalah Amr bin Hisyam atau
lebih dikenal dengan Abu Jahl dan Umar bin Khaththab.
Setelah kejadian itu,
dari rumah adiknya dia segera menuju Rasulullah dan menyatakan keislaman di
hadapan beliau, Umar bin Khaththab bagaikan bintang yang mulai menerangi dunia
Islam serta mulai mengibarkan bendera jihad dan dakwah hingga beberapa tahun
setelah Rasulullah wafat. Setelah menyatakan keislaman, Umar bin Khaththab
segera menemui sanak keluarganya untuk mengajak mereka memeluk Islam. Seluruh
anggota keluarga menerima ajakan Umar, termasuk di dalamnya Hafshah yang ketika
itu baru berusia sepuluh tahun.
Menikah dan Hijrah ke
Madinah
Keislaman Umar membawa
keberuntungan yang sangat besar bagi kaum muslimin dalam menghadapi kekejaman
kaum Quraisy. Kabar keislaman Umar ini mernotivasi para muhajirin yang berada
di Habasyah untuk kembali ke tanah asal rnereka setelah sekian larna
ditinggalkan. Di antara mereka yang kembali itu terdapat seorang pemuda bernama
Khunais bin Hudzafah as-Sahami. Pemuda itu sangat mencintai Rasulullah
sebagaimana dia pun mencintai keluarga dan kampung halamannya. Dia hijrah ke
Habasyah untuk rnenyelamatkan diri dan agamanya. Setibanya di Mekah, dia segera
mengunjungi Umar bin Khaththab, dan di sana dia melihat Hafshah. Dia meminta
Umar untuk menikahkan dirinya dengan Hafshah, dan Umar pun merestuinya.
Pernikahan antara mujahid dan mukminah mulia pun berlangsung. Rumah tangga
mereka sangat berbahagia karena dilandasi keirnanan dan ketakwaan.
Ketika Allah menerangi
penduduk Yatsrib sehingga memeluk Islam, Rasulullah . menernukan sandaran baru
yang dapat membantu kaum muslimin. Karena itulah beliau mengizinkan kaum
muslimin hijrah ke Yatsrib untuk menjaga akidah mereka sekaligus menjaga mereka
dan penyiksaan dan kezaliman kaum Quraisy. Dalam hijrah ini, Hafshah dan
suaminya ikut serta ke Yatsrib.
Cobaan dan Ganjaran
Setelah kaum muslirnin berada
di Madinah dan Rasulullah . berhasil menyatukan mereka dalam satu barisan yang
kuat, tiba saatnya bagi mereka untuk menghadapi orang musyrik yang telah
memusuhi dan mengambil hak mereka. Selain itu, perintah Allah untuk berperang
menghadapi orang musyrik sudah tiba.
Peperangan pertarna
antara umat Islam dan kaum musyrik Quraisy adalah Perang Badar. Dalam
peperangan ini, Allah telah menunjukkan kemenangan bagi harnba- hamba-Nya yang
ikhlas sekalipun jumlah mereka masih sedikit. Khunais termasuk salah seorang
anggota pasukan muslimin, dan dia mengalami luka yang cukup parah sekembalinya
dari peperangan tersebut. Hafshah senantiasa berada di sisinya dan mengobati
luka yang dideritanya, namun Allah berkehendak memanggil Khunais sebagai syahid
dalam peperangan pertama melawan kebatilan dan kezaliman, sehingga Hafshah
menjadi janda. Ketika itu usia Hafshah baru delapan belas tahun, namun Hafshah
telah memiliki kesabaran atas cobaan yang menimpanya.
Umar sangat sedih karena
anaknya telah menjadi janda pada usia yang sangat muda, sehingga dalam hatinya
terbetik niat untuk menikahkan Hafshah dengan seorang muslim yang saleh agar
hatinya kembali tenang. Untuk itu dia pergi ke rumah Abu Bakar dan merninta
kesediaannya untuk menikahi putrinya. Akan tetapi, Abu Bakar diam, tidak
menjawab sedikit pun. Kemudian Umar menemui Utsman bin Affan dan meminta
kesediaannya untuk menikahi putrinya. Akan tetapi, pada saat itu Utsman masih
berada dalam kesedihan karena istrinya, Ruqayah binti Muhammad, baru meninggal.
Utsman pun menolak permintaan Umar. Menghadapi sikap dua sahabatnya, Uman
sangat kecewa, dan dia bertambah sedih karena memikirkan nasib putrinya.
Kemudian dia menemui Rasulullah dengan maksud mengadukan sikap kedua
sahabatnya. Mendengar penuturan Umar, Rasulullah . bersabda, “Hafshah akan
menikah dengan seseorang yang lebih baik daripada Utsman dan Abu Bakar. Utsman
pun akan menikah dengan seseorang yang lebih baik daripada Hafshah.” Semula
Umar tidak memahami maksud ucapan Rasulullah, tetapi karena kecerdasan akalnya,
dia kemudian memahami bahwa Rasulullah yang akan meminang putrinya.
Umar merasa sangat
terhormat mendengar niat Rasulullah untuk menikahi putrinya, dan kegernbiraan
tampak pada wajahnya. Umar langsung menernui Abu Bakar untuk mengutarakan
maksud Rasulullah. Abu Bakar berkata, “Aku tidak bermaksud menolakmu dengan
ucapanku tadi, karena aku tahu bahwa Rasulullah telah rnenyebut-nyebut nama
Hafshah, namun aku tidak mungkin membuka rahasia beliau kepadamu. Seandainya
Rasulullah membiarkannya, tentu akulah yang akan menikahi Hafshah.” Umar baru
memahami mengapa Abu Bakar menolak menikahi putrinya. Sedangkan sikap Utsman
hanya karena sedih atas meninggalnya Ruqayah dan dia bermaksud menyunting
saudaranya, Ummu Kultsum, sehingga nasabnya dapat terus bersambung dengan
Rasulullah. Setelah Utsman menikah dengan Ummu Kultsum, dia dijuluki
dzunnuraini (pemilik dua cahaya). Pernikahan Rasulullah . dengan Hafshah lebih
dianggap sebagai penghargaan beliau terhadap Umar, di samping juga karena
Hafshah adalah seorang janda seorang mujahid dan muhajir, Khunais bin Hudzafah
as-Sahami.
Berada di Rumah
Rasulullah
Di rumah Rasulullah,
Hafshah menempati kamar khusus, sama dengan Saudah binti Zum’ah dan Aisyah
binti Abu Bakar. Secara manusiawi, Aisyah sangat mencemburui Hafshah karena
mereka sebaya, lain halnya Saudah binti Zum’ah yang menganggap Hafshah sebagai
wanita mulia putri Umar bin Khaththab, sahabat Rasulullah yang terhormat.
Umar memahami bagaimana
tingginya kedudukan Aisyah di hati Rasulullah. Dia pun rnengetahui bahwa orang
yang rnenyebabkan kemarahan Aisyah sama halnya dengan menyebabkan kemarahan
Rasulullah, dan yang ridha terhadap Aisyah berarti ridha terhadap Rasulullah.
Karena itu Umar berpesan kepada putrinya agar berusaha dekat dengan Aisyah dan
mcncintainya. Selain itu, Umar meminta agar Hafshah rnenjaga tindak-tanduknya
sehingga di antara mereka berdua tidak terjadi perselisihan. Akan tetapi,
mcmang sangat manusiawi jika di antara mereka rnasih saja terjadi
kesalahpahaman yang bersumber dari rasa cemburu. Dengan lapang dada Rasulullab
. mendamaikan mereka tanpa menimbulkan kesedihan di antara istri – istrinya.
Salah satu contoh adalah kejadian ketika Hafshah melihat Mariyah al-Qibtiyah
datang rnenemui Nabi dalam suatu urusan. Mariyah berada jauh dari masjid, dan Rasulullah
menyuruhnya masuk ke dalarn rumah Hafshah yang ketika itu sedang pergi ke rumah
ayahnya, dia melihat tabir karnar tidurnya tertutup, sementara Rasulullah dan
Mariyah berada di dalamnya. Melihat kejadian itu, amarah Hafshah meledak.
Hafshah menangis penuh amarah. Rasulullah berusaha membujuk dan meredakan
amarah Hafshah, bahkan beliau bersumpah rnengharamkan Mariyah baginya kalau
Mariyah tidak merninta maaf pada Hafshah, dan Nabi meminta agar Hafshah
rnerahasiakan kejadian tersebut.
Merupakan hal yang wajar
jika istri-istri Rasulullah merasa cemburu terhadap Mariyah, karena dialah
satu-satunya wanita yang melahirkan putra Rasulullah setelah Siti Khadijah
r.a.. Kejadian itu segera menyebar, padahal Rasulullah telah memerintahkan
untuk menutupi rahasia tersebut. Berita itu akhirnya diketahui oleh Rasulullah
sehingga beliau sangat marah. Sebagian riwayat mengatakan bahwa setelah
kejadian tersebut, Rasulullah . menceraikan Hafshah, namun beberapa saat
kemudian beliau merujuknya kembali karena melihat ayah Hafshah, Umar, sangat
resah. Sementara riwayat lain menyebutkan bahwa Rasulullah bermaksud
menceraikan Hafshah, tetapi Jibril mendatangi beliau dengan maksud
memerintahkan beliau untuk mempertahankan Hafshah sebagai istrinya karena dia
adalah wanita yang berpendirian teguh. Rasulullah pun mempertahankan Hafshah
sebagai istrinya, terlebih karena tersebut Hafshah sangat menyesali
perbuatannya dengan membuka rahasia dan memurkakan Rasulullah .
Umar bin Khaththab
mengingatkan putrinya agar tidak lagi membangkitkan amarah Rasulullah dan
senantiasa menaati serta mencari keridhaan beliau. Umar bin Khaththab
meletakkan keridhaan Rasulullah . pada tempat terpenting yang harus dilakukan
oleh Hafshah. Pada dasarnya, Rasulullah menikahi Hafshah karena memandang keberadaan
Umar dan merasa kasihan terhadap Hafshah yang ditinggalkan suaminya. Allah
menurunkan ayat berikut ini sebagai antisipasi atas isu-isu yang tersebar.
“Hai Nabi, mengapa
kamu mengharamkan apa yang telah Allah menghalalkannya bagimu,- kamu mencari
kesenangan hati istri -istrimu? Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang
Sesungguhnya Allah telah mewajibkan kepada kamu sekalian membebaskan diri dan
sumpahmu; dan Allah adalah pelindungmu dan Dia Maha Mengetahui lagi Maha
Bijaksana. Dan ingatlah ketika Nabi membicarakan secara rahasia kepada salah
seorang dan istri-istrinya (Hafshah) suatu peristiwa. Maka tatkala (Hafshah)
menceritakan peristiwa itu (kepada Aisyah) dan Allah memberitahukan hal itu
(semua pembicaraan antara Hafshah dengan Aisyah) kepada Muhammad lalu Muhammad
memberitahukan sebagian (yang diberiitakan Allah kepadanya) dan rnenyembunyikan
sebagian yang lain (kepada Hafshah). Maka tatkala (Muhammad) memberitahukan
pembicaraan (antara Hafshah dan Aisyah) lalu Hafshah bertanya, ‘Siapakah yang telah
memberitahukan hal ini kepadamu?’ Nabi menjawab, ‘Telah diberitahukan kepadaku
oleh Allah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal. Jika kamu berdua bertobat
kepada Allah, maka sesungguhnya hati kamu berdua telah condong (untuk menerima
kebaikan); dan jika kamu berdua bantu membantu menyusahkan Nabi, maka
sesungguhnya Allah adalah pelindungnya (begitu pula) Jibril dan orang-orang
mukrnin yang haik; dan selain dan itu malaikat-malaikat adalah penolongnya
pula. Jika Nabi menceraikan kamu, boleh jadi Tuhannya akan memberi ganti
kepadanya dengan istri-istri yang lebih baik daripada kamu, yang patuh, yang
beriman, yang taat, yang bertobat, yang mengerjakan ibadah, yang berpuasa, yang
janda, dan yang perawan.” (Qs. At-Tahrim:1-5)
Cobaan Besar
Hafshah senantiasa
bertanya kepada Rasulullah dalam berbagai rnasalah, dan hal itu menyebabkan
marahnya Umar kepada Hafshah, sedangkan Rasulullah . senantiasa memperlakukan
Hafshah dengan lemah lembut dan penuh kasih sayang. Beliau bersabda,
“Berwasiatlah engkau kepada kaum wanita dengan baik.” Rasulullah . pernah marah
besar kepada istri-istrinya ketika mereka meminta tambahan nafkah sehingga
secepatnya Umar mendatangi rumah Rasulullah. Umar melihat istri-istri
Rasulullah murung dan sedih, sepertinya telah terjadi perselisihan antara
mereka dengan Rasulullah. Secara khusus Umar memanggil putrinya, Hafshah, dan
mengingatkannya untuk menjauhi perilaku yang dapat membangkitkan amarah beliau
dan menyadari bahwa beliau tidak memiliki banyak harta untuk diberikan kepada
mereka. Karena marahnya, Rasulullah bersumpah untuk tidak berkumpul dengan
istri-istri beliau selama sebulan hingga mereka menyadari kesalahannya, atau
menceraikan mereka jika mereka tidak menyadari kesalahan. Kaitannya dengan hal
ini, Allah berfirman,
“Hai Nabi, katakanlah
kepada istri-istrimu, jika kalian menghendaki kehidupan dunia dan segala
perhiasannya, maka kemarilah, aku akan memenuhi keinginanmu itu dan aku akan
menceraikanmu secara baik-baik. Dan jika kalian menginginkan (keridhaan) Allah dan
Rasul-Nya serta (kesenangan) di kampung akhirat, sesungguhnya Allah akan
menyediakan bagi hamba-hamba yang baik di antara kalian pahala yang besar. “
(QS. Al-Ahzab)
Rasulullah . menjauhi
istri-istrinya selama sebulan di dalam sebuah kamar yang disebut khazanah, dan
seorang budak bernama Rabah duduk di depan pintu kamar.
Setelah kejadian itu
tersebarlah kabar yang meresahkan bahwa Rasulullah . telah menceraikan
istri-jstri beliau. Yang paling merasakan keresahan adalah Urnar bin Khaththab,
sehingga dia segera rnenemui putrinya yang sedang menangis. Urnar berkata,
“Sepertinya Rasulullah telah menceraikanmu.” Dengan terisak Hafshah menjawab,
“Aku tidak tahu.” Umar berkata, “Beliau telah menceraikanmu sekali dan
merujukmu lagi karena aku. Jika beliau menceraikanmu sekali lagi, aku tidak
akan berbicara dengan mu selama-lamanya.” Hafshah menangis dan menyesali
kelalaiannya terhadap suami dan ayahnya. Setelah beberapa hari Rasulullah .
menyendiri, belum ada seorang pun yang dapat memastikan apakah beliau menceraikan
istri-istri beliau atau tidak. Karena tidak sabar, Umar mendatangi khazanah
untuk menemui Rasulullah yang sedang rnenyendiri. Sekarang ini Umar menemui
Rasulullah bukan karena anaknya, melainkan karena cintanya kepada beliau dan
merasa sangat sedih melihat keadaan beliau, di samping memang ingin memastikan
isu yang tersebar. Dia merasa putrinyalah yang menjadi penyebab kesedihan
beliau. Umar pun meminta penjelasan dari beliau walaupun di sisi lain dia
sangat yakin bahwa beliau tidak akan menceraikan istri – istri beliau. Dan
memang benar, Rasulullah . tidak akan menceraikan istri-istri beliau sehingga
Umar meminta izin untuk mengumumkan kabar gembira itu kepada kaum muslimin.
Umar pergi ke masjid dan mengabarkan bahwa Rasulullah . tidak menceraikan istri-istri
beliau. Kaum muslimin menyambut gembira kabar tersebut, dan tentu yang lebih
gembira lagi adalah istri-istri beliau.
Setelah genap sebulan
Rasulullah menjauhi istri-istrinya, beliau kembali kepada mereka. Beliau
melihat penyesalan tergambar dari wajah mereka. Mereka kembali kepada Allah dan
Rasul-Nya. Untuk lebih meyakinkan lagi, beliau rnengurnumkan penyesalan mereka
kepada kaurn muslimin. Hafshah dapat dikatakan sebagai istri Rasul yang paling
menyesal sehingga dia mendekatkan diri kepada Allah dengan sepenuh hati dan
menjadikannya sebagai tebusan bagi Rasulullah. Hafshah memperbanyak ibadah,
terutama puasa dan shalat malam. Kebiasaan itu berlanjut hingga setelah
Rasulullah wafat. Bahkan pada masa kekhalifahan Abu Bakar dan Urnar, dia
mengikuti perkembangan penaklukan-penaklukan besar, baik di bagian timur maupun
barat.
Hafshah merasa sangat
kehilangan ketika ayahnya meninggal di tangan Abu Lu’luah. Dia hidup hingga
masa kekhalifahan Utsman, yang ketika itu terjadi fitnah besar antar muslirnin
yang menuntut balas atas kematian Khalifah Utsman hingga masa pembai’atan Ali
bin Abi Thalib sebagai khalifah. Ketika itu, Hafshah berada pada kubu Aisyah
sebagaimana yang diungkapkannya, “Pendapatku adalah sebagaimana pendapat
Aisyah.” Akan tetapi, dia tidak termasuk ke dalam golongan orang yang
menyatakan diri berba’iat kepada Ali bin Abi Thalib karena saudaranya, Abdullah
bin Umar, memintanya agar berdiam di rumah dan tidak keluar untuk menyatakan
ba’iat.
Tentang wafatnya
Hafshah, sebagian riwayat mengatakan bahwa Sayyidah Hafshah wafat pada tahun ke
empat puluh tujuh pada masa pemerintahan Mu’awiyah bin Abu Sufyan. Dia
dikuburkan di Baqi’, bersebelahan dengan kuburan istri-istri Nabi yang lain.
Pemilik Mushaf yang
Pertama
Karya besar Hafshah bagi
Islam adalah terkumpulnya A1-Qur’an di tangannya setelah mengalami penghapusan
karena dialah satu-satunya istrii Nabi . yang pandai membaca dan menulis. Pada
masa Rasul, A1-Qur’an terjaga di dalam dada dan dihafal oleh para sahabat untuk
kemudian dituliskan pada pelepah kurma atau lembaran-lembaran yang tidak
terkumpul dalam satu kitab khusus.
Pada masa khalifah Abu
Bakar, para penghafal A1-Qur’an banyak yang gugur dalam peperangan Riddah
(peperangan rnelawan kaum murtad). Kondisi seperti itu mendorong Umar bin
Khaththab untuk mendesak Abu Bakar agar mengumpulkan Al-Qur’an yang tercecer.
Awalnya Abu Bakar merasa khawatir kalau mengumpulkan Al-Qur’an dalam satu kitab
itu merupakan sesuatu yang mengada-ada karena pada zaman Rasul hal itu tidak
pernah dilakukan. Akan tetapi, atas desakan Umar, Abu bakar akhirnya memerintah
Hafshah untuk mengumpulkan Al-Qur’an, sekaligus menyimpan dan memeliharanya.
Mushaf asli Al-Qur’an itu berada di rumah Hafshah hingga dia meninggal.
Semoga rahmat Allah
senantiasa menyertai Hafshah. dan semoga Allah memberinya tempat yang layak di
sisi-Nya. Amin.
Sumber:
buku Dzaujatur-Rasulullah , karya Amru Yusuf, Penerbit Darus-Sa’abu, Riyadh
Seorang wanita asal Mesir yang
dihadiahkan oleh Muqauqis, penguasa Mesir kepada Rasulullah tahun 7 H. Setelah
dimerdekakan lalu dinikahi oleh Rasulullah dan mendapat seorang putra bernama
Ibrahim. Sepeninggal Rasulullah dia dibiayai oleh Abu Bakar kemudian Umar dan
meninggal pada masa kekhalifahan Umar.
Seperti halnya Sayyidah Raihanah binti Zaid, Mariyah
al-Qibtiyah adalah budak Rasulullah yang kemudian beliau bebaskan dan beliau
nikahi. Rasulullah memperlakukan Mariyah sebagaimana beliau memperlakukan
istri-istri beliau yang lainnya. Abu Bakar dan Umar pun memperlakukan Mariyah
layaknya seorang Ummul-Mukminin. Dia adalah istri Rasulullah satu-satunya yang
melahirkan seorang putra, Ibrahirn, setelah Khadijah.
Dari Mesir ke Yastrib
Tentang nasab Mariyah,
tidak banyak yang diketahui selain nama ayahnya. Nama lengkapnya adalah Mariyah
binti Syama’un dan dilahirkan di dataran tinggi Mesir yang dikenal dengan nama
Hafn. Ayahnya berasal dan Suku Qibti, dan ibunya adalah penganut agarna Masehi
Romawi. Setelah dewasa, bersarna saudara perempuannya, Sirin, Mariyah
dipekerjakan pada Raja Muqauqis.
Rasulullah mengirim
surat kepada Muqauqis melalui Hatib bin Baltaah, rnenyeru raja agar memeluk
Islam. Raja Muqauqis menerima Hatib dengan hangat, namun dengan ramah dia
menolak memeluk Islam, justru dia mengirimkan Mariyah, Sirin, dan seorang budak
bernama Maburi, serta hadiah-hadiah hasil kerajinan dari Mesir untuk
Rasulullah. Di tengah perjalanan Hatib rnerasakan kesedihan hati Mariyah karena
harus rneninggalkan kampung halamannya. Hatib rnenghibur mereka dengan
menceritakan Rasulullah dan Islam, kemudian mengajak mereka merneluk Islam.
Mereka pun menerirna ajakan tersebut.
Rasulullah teläh
menerima kabar penolakan Muqauqis dan hadiahnya, dan betapa terkejutnya
Rasulullah terhadap budak pemberian Muqauqis itu. Beliau mengambil Mariyah
untuk dirinya dan menyerahkan Sirin kepada penyairnya, Hasan bin Tsabit.
Istri-istri Nabi yang lain sangat cemburu atas kehadiran orang Mesir yang
cantik itu sehingga Rasulullah harus menitipkan Mariyah di rumah Haritsah bin
Nu’man yang terletak di sebelah rnasjid.
Ibrahim bin Muhammad .
Allah menghendaki
Mariyah al-Qibtiyah melahirkan seorang putra Rasulullah setelah Khadijah r.a.
Betapa gembiranya Rasulullah mendengar berita kehamilan Mariyah, terlebih
setelah putra-putrinya, yaitu Abdullah, Qasim, dan Ruqayah meninggal dunia.
Mariyah mengandung
setelah setahun tiba di Madinah. Kehamilannya membuat istri-istri Rasul cemburu
karena telah beberapa tahun mereka menikah, namun tidak kunjung dikaruniai
seorang anak pun. Rasulullah menjaga kandungan istrinya dengan sangat
hati-hati. Pada bulan Dzulhijjah tahun kedelapan hijrah, Mariyah melahirkan
bayinya yang kemudian Rasulullah memberinya nama Ibrahim demi mengharap berkah
dari nama bapak para nabi, Ibrahim a.s.. Lalu beliau memerdekakan Mariyah
sepenuhnya. Kaum muslimin menyambut kelahiran putra Rasulullah . dengan
gembira.
Akan tetapi, di kalangan
istri Rasul lainnya api cemburu tengah membakar, suatu perasaan yang Allah
ciptakan dominan pada kaum wanita. Rasa cemburu sernakin tampak bersamaan
dengan terbongkarnya rahasia pertemuan Rasulullah . dengan Mariyah di rumah
Hafshah sedangkan Hafshah tidak berada di rumahnya. Hal ini menyebabkan Hafshah
marah. Atas kemarahan Hafshah itu Rasulullah rnengharamkan Mariyah atas diri
beliau. Kaitannya dengan hal itu, Allah telah menegur lewat firman-Nya:
“Hai Muhammad, mengapa
kamu mengharamkan apa yang Allah menghalalkannya bagimu; kamu mencari
kesenangan hati istri-istrimu? Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. “
(QS. At-Tahriim:1)
Aisyah mengungkapkan
rasa cemburunya kepada Mariyah, “Aku tidak pernah cemburu kepada wanita kecuali
kepada Mariyah karena dia berparas cantik dan Rasulullah sangat tertarik
kepadanya. Ketika pertama kali datang, Rasulullah menitipkannya di rumah
Haritsah bin Nu’man al-Anshari, lalu dia menjadi tetangga kami. Akan tetapi,
beliau sering kali di sana siang dan malam. Aku merasa sedih. Oleh karena itu,
Rasulullah memindahkannya ke kamar atas, tetapi beliau tetap mendatangi tempat
itu. Sungguh itu lebih menyakitkan bagi karni.” Di dalam riwayat lain dikatakan
bahwa Aisyah berkata, “Allah memberinya anak, sementara kami tidak dikaruni
anak seorang pun.”
Beberapa orang dari
kalangan golongan munafik menuduh Mariyah telah melahirkan anak hasil perbuatan
serong dengan Maburi, budak yang menemaninya dari Mesir dan kemudian menjadi
pelayan bagi Mariyah. Akan tetapi, Allah membukakan kebenaran untuk diri
Mariyah setelah Ali ra. menemui Maburi dengan pedang terhunus. Maburi
menuturkan bahwa dirinya adalah laki-laki yang telah dikebiri oleh raja.
Pada usianya yang
kesembilan belas bulan, Ibrahim jatuh sakit sehingga meresahkan kedua orang
tuanya. Mariyah bersama Sirin senantiasa menunggui Ibrahim. Suatu malarn,
ketika sakit Ibrahim bertambah parah, dengan perasaan sedih Nabi . bersama
Abdurrahman bin Auf pergi ke rumah Mariyah. Ketika Ibrahim dalam keadaan
sekarat, Rasulullah . bersabda, “Kami tidak dapat menolongmu dari kehendak
Allah, wahai Ibrahim.”
Tanpa beliau sadari, air
mata telah bercucuran. Ketika Ibrahim meninggal dunia, beliau kembali bersabda,
“Wahai Ibrahim,
seandainya mi bukan penintah yang haq, janji yang benar, dan masa akhir kita
yang menyusuli masa awal kita, niscaya kami akan merasa sedih atas kematianmu
lebih dari ini. Kami semua merasa sedih, wahai Ibrahim… Mata kami menangis,
hati kami bersedih, dan kami tidak akan mengucapkan sesuatu yang menyebabkan
murka Allah.”
Demikianlah keadaan Nabi
ketika menghadapi kematian putranya. Walaupun tengah berada dalam kesedihan,
beliau tetap berada dalam jalur yang wajar sehingga tetap menjadi contoh bagi
seluruh manusia ketika menghadapi cobaan besar. Rasulullah . mengurus sendiri
jenazah anaknya kemudian beliau menguburkannya di Baqi’.
Saat Wafatnya
Setelah Rasulullah
wafat, Mariyah hidup menyendiri dan menujukan hidupnya hanya untuk beribadah
kepada Allah. Dia wafat lima tahun setelah wafatnya Rasulullah, yaitu pada
tahun ke-46 hijrah, pada masa pemerintahan Khalifah Umar bin Khattab. Khalifah
sendiri yang menyalati jenazah Sayyidah Mariyah al-Qibtiyah, kemudian
dikebumikan di Baqi’. Semoga Allah menempatkannya pada kedudukan yang mulia dan
penuh berkah. Amin.
Sumber:
Buku Dzaujatur-Rasulullah , karya Amru Yusuf, Penerbit Darus-Sa’abu, Riyadh
Nama dan Nasabnya
Nama lengkapnya adalah Shafiyyah
binti Huyay bin Akhtab bin Sa’yah bin Amir bin Ubaid bin Kaab bin al-Khazraj
bin Habib bin Nadhir bin al-Kham bin Yakhurn dari keturunan Harun bin Imran.
Ibunya bernama Barrah binti Samaual darin Bani Quraizhah. Shafiyyah dilahirkan
sebelas tahun sebelum hijrah, atau dua tahun setelah masa kenabian Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wassalam.. Ayahnya adalah seorang pemimpin Bani Nadhir.
Sejak kecil dia menyukai ilmu
pengetahuan dan rajin mempelajari sejarah dan kepercayaan bangsanya. Dari kitab
suci Taurat dia membaca bahwa akan datang seorang nabi dari jazirah Arab yang
akan menjadi penutup semua nabi. Pikirannya tercurah pada masalah kenabian
tersebut, terutama setelah Muhammad muncul di Mekah Dia sangat heran ketika
kaumnya tidak mempercayai berita besar tersebut, padahal sudah jelas tertulis
di dalarn kitab mereka. Demikian juga ayahnya, Huyay bin Akhtab, yang sangat
gigih menyulut permusuhan terhadap kaum muslimin.
Sifat dusta, tipu muslihat, dan
pengecut ayahnya sudah tampak di mata Shafiyyah dalam banyak peristiwa. Di
antara yang menjadi perhatian Shafiyyah adalah sikap Huyay terhadap kaumnya
sendiri, Yahudi Bani Quraizhah. Ketika itu, Huyay berjanji untuk mendukung dan
memberikan pertolongan kepada mereka jika mereka melepaskan perjanjian tidak
rnengkhianati kaurn muslimin (Perjanjian Hudaibiyah). Akan tetapi, ketika kaum
Yahudi mengkhianati perjanjian tersebut, Huyay melepaskan tanggung jawab dan
tidak menghiraukan mereka lagi. Hal lain adalah sikapnya terhadap orang-orang
Quraisy Mekah. Huyay pergi ke Mekah untuk rnenghasut kaum Quraisy agar
memerangi kaum muslimin, dan mereka menyuruhnya mengakui bahwa agama mereka
(Quraisy) lebih mulia daripada agama Muhammad, dan tuhan mereka lebih baik
daripada tuhan Muhammad.
Masa Pernikahannya
Sayyidah Shauiyyah bin Huyay r.a.
telah dua kali menikah sebelurn dengan Rasulullah. Suami pertamanya bernama
Salam bin Musykam, salah seorang pemimpin Bani Quraizhah, namun rumah tangga
mereka tidak berlangsung lama. Suami keduanya bernama Kinanah bin Rabi’ bin
Abil Hafiq, yang juga salah seorang pemimpin Bani Quraizhah yang diusir
Rasulullah dan kemudian menetap di Khaibar.
Penaklukan Khaibar dan
Penawanannya
Perang Khandaq telah membuka tabir
pengkhianatan kaum Yahudi terhadap perjanjian yang telah mereka sepakati dengan
kaum muslimin. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam. segera menyadari
ancaman yang akan menimpa kaum muslimin dengan berpindahnya kaum Yahudi ke
Khaibar kernudian membentuk pertahanan yang kuat untuk persiapan menyerang kaum
muslimin.
Setelah perjanjian Hudaibiyah
disepakati untuk menghentikan permusuhan selama sepuluh tahun, Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wassalam. merencanakan penyerangan terhadap kaum Yahudi,
tepatnya pada bulan Muharam tahun ketujuh hijriah. Nabi Shallallahu ‘alaihi
wassalam. memimpin tentara Islam untuk menaklukkan Khaibar, benteng terkuat dan
terakhir kaum Yahudi. Perang berlangsung dahsyat hingga beberapa hari lamanya,
dan akhirnya kemenangan ada di tangan umat Islam. Benteng-benteng mereka
berhasil dihancurkan, harta benda mereka menjadi harta rampasan perang, dan
kaum wanitanya pun menjadi tawanan perang. Di antara tawanan perang itu terdapat
Shafiyyah, putri pemimpin Yahudi yang ditinggal mati suaminya.
Bilal membawa Shafiyyah dan putri
pamannya menghadap Nabi Shallallahu ‘alaihi wassalam.. Di sepanjang jalan yang
dilaluinya terlihat mayat-mayat tentara kaumnya yang dibunuh. Hati Shafiyyah sangat
sedih melihat keadaan itu, apalagi jika mengingat bahwa dirinya menjadi tawanan
kaum muslimin. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam. memahami kesedihan yang
dialaminva, kemudian beliau bersabda kepada Bilal, “Sudah hilangkah rasa kasih
sayang dihatimu, wahai Bilal, sehingga engkau tega membawa dua orang wanita ini
melewati mayat-mayat suami mereka?” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam.
rnemilih Shafiyyah sebagai istri setelah terlebih dahulu menawarkan Islam
kepadanya dan kemudian diterirnanya.
Seperti telah dikaji di atas,
Shafiyyah telah banyak memikirkan Rasulullah Muhammad Shallallahu ‘alaihi
wassalam sejak dia belum mengetahui kerasulan beliau. Keyakinannya bertambah
besar setelah dia mengetahui bahwa Muhammad adalah utusan Allah. Anas r a.
berkata, “Rasulullah ketika hendak menikahi Shafiyyah binti Huyay bertanya
kepadanya, ‘Adakah sesuatu yang engkau ketahui tentang diriku?’ Dia menjawab,
‘Ya Rasulullah, aku sudah rnengharapkanrnu sejak aku masih musyrik, dan
memikirkan seandainya Allah mengabulkan keinginanku itu ketika aku sudah
merneluk Islam.” Ungkapan Shafiyyah tersebut menunjukkan rasa percayanya kepada
Rasulullah dan rindunya terhadap Islam.
Bukti-bukti yang jelas tentang
keimanan Shafiyyah dapat terlihat ketika dia memimpikan sesuatu dalarn tidurnya
kemudian dia ceritakan mimpi itu kepada suaminya. Mengetahui takwil dan mimpi
itu, suaminya marah dan menampar wajah Shafiyyah sehingga berbekas di wajahnya.
Rasulullah melihat bekas di wajah Shafiyyah dan bertanya, “Apa ini?” Dia menjawab,
“Ya Rasul, suatu malam aku bermimpi melihat bulan muncul di Yastrib, kemudian
jatuh di kamarku. Lalu aku ceritakan mimpi itu kepada suamiku, Kinanah. Dia
berkata, ‘Apakah engkau suka menjadi pengikut raja yang datang dari Madinah?’
Kemudian dia menampar wajahku.”
Menjadi Ummul-Mukminin
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wassalam. menikahi Shafiyyah dan kebebasannya menjadi mahar perkawinan
dengannya. Pernikahan beliau dengan Shafiyyah didasari beberapa landasan.
Shafiyyah telah mernilih Islam serta menikah dengan Rasulullah ketika beliau memberinya
pilihan antara memeluk Islam dan menikah dengan beliau atau tetap dengan
agamanya dan dibebaskan sepenuhnya. Ternyata Shafiyyah memilih untuk tetap
bersama Nabi, Selain itu, Shafiyyah adalah putri pemimpin Yahudi yang sangat
membahayakan kaum muslimin, di samping itu, juga karena kecintaannya kepada
Islam dan Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wassalam.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wassalam.
menghormati Shafiyyah sebagaimana hormatnya beliau terhadap istri-istri yang
lain. Akan tetapi, istri-istri beliau menyambut kedatangan Shafiyyah dengan
wajah sinis karena dia adalah orang Yahudi, di samping juga karena
kecantikannya yang menawan. Akibat sikap mereka, Rasulullah pernah tidak tidur
dengan Zainab binti Jahsy karena kata-kata yang dia lontarkan tentang Shafiyyah.
Aisyah bertutur tentang peristiwa tersebut, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wassalam. tengah dalam perjalanan. Tiba-tiba unta Shafiyyah sakit, sementara
unta Zainab berlebih. Rasulullah berkata kepada Zainab, ‘Unta tunggangan
Shafiyyah sakit, maukah engkau memberikan salah satu dan untamu?’ Zainab
menjawab, ‘Akankah aku memberi kepada seorang perempuan Yahudi?’ Akhirnya,
beliau meninggalkan Zainab pada bulan Dzulhijjah dan Muharam. Artinya, beliau
tidak mendatangi Zainab selama tiga bulan. Zainab berkata, ‘Sehingga aku putus
asa dan aku mengalihkan tempat tidurku.” Aisyah mengatakan lagi, “Suatu siang
aku melihat bayangan Rasulullah datang. Ketika itu Shafiyyah mendengar obrolan
Hafshah dan Aisyah tentang dirinya dan mcngungkit-ungkit asal-usul dirinya.
Betapa sedih perasannya. Lalu dia mengadu kepada Rasulullah sambil menangis.
Rasulullah menghiburnya, ‘Mengapa tidak engkau katakan, bagaimana kalian berdua
lebih baik dariku, suamiku Muhammad, ayahku Harun, dan pamanku Musa.” Di dalam
hadits riwayat Tirmidzi juga disebutkan, “Ketika Shafiyyah mendengar Hafshah
berkata, ‘Perempuan Yahudi!’ dia menangis, kemudian Rasulullah menghampirinya
dan berkata, ‘Mengapa cngkau menangis?’ Dia menjawab, ‘Hafshah binti Umar
mengejekku bahwa aku wanita Yahudiah.’ Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam.
bersabda, ‘Engkau adalah anak nabi, pamanmu adalah nabi, dan kini engkau berada
di bawah perlindungan nabi. Apa lagi yang dia banggakan kepadamu?’ Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wassalam. kemudian berkata kepada Hafshah, ‘Bertakwalah
engkau kepada Allah, Hafshah!”
Salah satu bukti cinta Hafshah
kepada Nabi terdapat pada hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Saad dalarn
Thabaqta-nya tentang istri-istri Nabi yang berkumpul menjelang beliau wafat.
Shafiyyah berkata, “Demi Allah, ya Nabi, aku ingin apa yang engkau derita juga
menjadi deritaku.” Istri-istri Rasulullah memberikan isyarat satu sama lain.
Melihat hal yang demikian, beliau berkata, “Berkumurlah!” Dengan terkejut
mereka bertanya, “Dari apa?” Beliau menjawab, “Dari isyarat mata kalian
terhadapnya. Demi Allah, dia adalah benar.”
Setelah Rasulullah wafat, Shafiyyah
merasa sangat terasing di tengah kaum muslimin karena mereka selalu
menganggapnya berasal dan Yahudi, tetapi dia tetap komitmen terhadap Islam dan
mendukung perjuangan Nabi Shallallahu ‘alaihi wassalam. Ketika terjadi fitnah
besar atas kematian Utsrnan bin Affan, dia berada di barisan Utsman. Selain
itu, dia pun banyak meriwayatkan hadits Nabi. Dia wafat pada masa kekhalifahan
Mu’awiyah bin Abi Sufyan. Marwan bin Hakam menshalatinya, kemudian
menguburkannya di Baqi’. Semoga Allah memberinya tempat yang lapang dan mulia
di sisiNya. Amin.
Sumber:
buku Dzaujatur-Rasulullah, karya Amru Yusuf, Penerbit Darus-Sa’abu, Riyadh
Ummu
Salamah adalah
seorang Ummul-Mukminin yang berkepribadian kuat, cantik, dan menawan, serta
memiliki semangat jihad dan kesabaran dalam menghadapi cobaan, lebih-lebih
setelah berpisah dengan suami dan anak-anaknya. Berkat kematangan berpikir dan
ketepatan dalam mengambil keputusan, dia mendaparkan kedudukan mulia di sisi
Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassalam.. Di dalam sirah Ummahatul Mukminin
dijelaskan tentang banyaknya sikap mulia dan peristiwa penting darinya yang
dapat diteladani kaum muslimin, baik sikapnya sebagai istri yang selalu menjaga
kehormatan keluarga maupun sebagai pejuang di jalan Allah.
Nama
sebenarnya Ummu Salamah adalah Hindun binti Suhail, dikenal dengan narna Ummu
Salamah. Beliau dibesarkan di lingkungan bangsawan dari Suku Quraisy. Ayahnya
bernama Suhail bin Mughirah bin Makhzurn. Di kalangan kaumnya, Suhail dikenal
sebagai seorang dermawan sehingga dijuluki Dzadur-Rakib (penjamu para musafir)
karena dia selalu menjamu setiap orang yang menyertainya dalam perjalanan. Dia
adalah pemimpin kaumnya, terkaya, dan terbesar wibawanya. Ibu dari Ummu Salamah
bernama Atikah binti Amir bin Rabi’ah bin Malik bin Jazimah bin Alqamah
al-Kananiyah yang berasal dari Bani Faras.
Demikianlah,
Hindun dibesarkan di dalam lingkungan bangsawan yang dihormati dan disegani.
Kecantikannya meluluhkan setiap orang yang melihatnya dan kebaikan pribadinya
telah tertanam sejak kecil.
B. Pernikahan dan Perjuangannya
Banyak
pemuda Mekah yang ingin mempersunting Hindun, dan yang berhasil menikahinya
adalah Abdullah bin Abdul Asad bin Hilal bin Abdullah bin Umar bin Makhzum,
seorang penunggang kuda terkenal dari pahlawan-pahlawan suku Bani Quraisy yang
gagah berani. Ibunya bernama Barrah binti Abdul-Muththalib bin Hasyim, bibi
Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam. Abdullah adalah saudara sesusuan Nabi dari
Tsuwaibah, budak Abu Lahab. Mereka hidup bahagia, dan rumah tangga mereka
diliputi kerukunan dan kesejahteraan.
Tidak
lama setelah itu, dakwah Islam menarik hati mereka sehingga mereka memeluk
Islam dan menjadi orang-oramg pertama yang masuk Islam. Begitu pula dengan
Hindun, dia tergolong orang-orang yang pertama masuk Islam, dan bersama
suaminya memulai perjuangan dalam hidup mereka.
Orang-orang
Quraisy selalu mengganggu dan menyiksa kaum muslimin agar mereka meninggalkan
agama Islam dan kembali ke agama nenek moyang mereka. Melihat kondisi seperti
itu, Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassalam. mengizinkan mereka untuk hijrah ke
Habasyah, sehingga mereka disebut sebagai kaum muhajirin yang pertama. Mereka
menetap di Habasyah, dan di sana Hindun melahirkan anak-anaknya: Zainab,
Salamah, Umar, dan Durrah.
Setelah
beberapa lama, mereka berniat kembali ke Mekah, terutama setelah mendengar
keislaman dua tokoh penting Quraisy, Umar bin Khaththab dan Hamzah bin
Abdul-Muththalib. Akan tetapi, ternyata penyiksaan masih terus berlangsung,
bahkan bertambah dahsyat. Untuk menjaga kehormatan diri dan keluarganya, Abu
Salamah meminta perlindungan dari Abu Thalib (paman Nabi) dari siksaan kaumnya,
yaitu Bani Makhzum, dan Abu Thalib menyatakan perlindungannya.
C. Cobaan Datang
Karena
orang-orang Quraisy masih saja menyiksa kaum muslimin, akhirnya Allah membuka
hati penduduk Madinah untuk menerima Islam. Kemudian Rasulullah mengizinkan
kaum muslimin untuk hijrah ke sana, baik secara kelompok maupun perseorangan.
Abu Salamah, istri, dan anaknya (Salamah) hijrah ke sana. Di tengah perjalanan
mereka dihadang oleh kaum Bani Makhzum (kaumnya Ummu Salamah) yang kemudian
merampas serta menyandera Ummu Salamah. Keluarga Abu Salamah (Bani Asad) ikut
campur tangan dan mereka menolak menyerahkan Salamah, bahkan si anak dirampas
dan dijauhkan dari ibunya. Sedangkan Bani Makhzum menculik Ummu Salamah dan
dipenjara. Adapun Abu Salamah dibiarkan ke Yatsrib dengan hati penuh kesedihan
karena harus berpisah dengan istri dan anaknya.
Keadaan
demikian berjalan kurang lebih setahun lamanya. Ummu Salamah terus-menerus
menangis karena kecewa atas perbuatan kaumnya, sehingga akhirnya ada seorang
laki-laki dari kaumnya yang merasa iba dan membiarkan Ummu Salamah menyusul
suaminya di Madinah. Adapun Bani Asad menyerahkan kembali putranya, Salamah,
kepadanya. Akan tetapi, banyak rintangan yang harus dia hadapi, dan berkat
keimanan dan keinginan yang kuat, dia mampu mengatasi semua itu dan tiba di
Madinah.
D. Pesan Abu Salamah untuk Istrinya
Dalam
membela Islam, peran Abu Salamah sangat besar. Dia dikenal berani dalam berperang.
Rasulullah menghargainya dengan mengangkatnya sebagai wakil Rasulullah di
Madinah ketika beliau pergi memimpin pasukan dalam perang Dzil Asyirah pada
tahun kedua hijriah. Abu Salamah ikut dalam Perang Badar dan Uhud. Ketika dalam
perang Uhud, Abu Salamah mengalami luka yang cukup parah dan nyaris meninggal,
namun beberapa saat kemudian dia sembuh.
Setelah
Perang Uhud, Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassalam. mencrima berita bahwa Bani
Asad hendak menyerang kaum muslimin di Madinah. Sebelum mereka menyerang,
Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassalam. berinisiatif mendahului mereka. Dalam
misi ini, beliau menunjuk Abu Salamah untuk memimpin pasukan yang berjumlah
seratus lima puluh orang dan di dalamnya terdapat Saad bin Abi Waqash, Abu
Ubaidah bin Jarrah, Amir bin Jarrah, dan yang lainnya. Pasukan diarahkan ke
Bukit Quthn, tempat mata air Bani Asad. Kemenangan gemilang diraih oleh pasukan
Abu Salamah, dan mereka kembali ke Madinah dengan membawa banyak harta rampasan
perang. Di Madinah, luka-luka Abu Salamah karnbuh sehingga dia harus
beristirahat beberapa waktu. Ketika sakit, Rasulullah selalu menjenguk dan
mendoakannya.
Ummu
Salamah selalu mendampingi suaminya yang sedang dalam keadaan sakit sehingga
dia merawat dan menjaganya siang dan malam. Suatu hari, demam Abu Salamah
menghebat, kemudian Ummu Salamah berkata kepada suaminya, “Aku mendapat benita
bahwa seorang perempuan yang ditinggal mati suaminya, kemudian suaminya masuk
surga, istrinya pun akan masuk surga, jika setelah itu istrinya tidak menikah
lagi, dan Allah akan mengumpulkan mereka nanti di surga. Demikian pula jika si
istri yang meninggal, dan suaminya tidak menikah lagi sepeninggalnya. Untuk
itu, mari kita berjanji bahwa engkau tidak akan menikah lagi sepeninggalku, dan
aku berjanji untukmu untuk tidak menikah lagi sepeninggalmu.” Abu Salamah
berkata, “Maukah engkau menaati perintahku?” Dia menjawab, “Adapun saya
bermusyawarah hanya untuk taat.” Abu Salamah berkata, “Seandainya aku mati,
maka menikahlah.” Lalu dia berdoa kepada Allah ”Ya Allah, kurniakanlah kepada
Ummu Salamah sesudahku seseorang yang lebih baik dariku, yang tidak akan
menyengsarakan dan menyakitinya.”
Pada
detik-detik akhir hidupnya, Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassalam. selalu
berada di samping Abu Salamah dan senantiasa memohon kesembuhannya kepada
Allah. Akan tetapi, Allah berkehendak lain. Beberapa saat kemudian maut datang
menjemput. Rasulullah menutupkan kedua mata Abu Salamah dengan tangannya yang
mulia dan bertakbir sembilan kali. Di antara yang hadir ada yang berkata, “Ya
Rasulullah, apakah engkau sedang dalam keadaan lupa?” Beliau menjawab, “Aku
sama sekali tidak dalam keadaan lupa, sekalipun bertakbir untuknya seribu kali,
dia berhak atas takbir itu.” Kemudian beliau menoleh kepada Ummu Salamah dan
bersabda, “Barang siapa yang ditimpa suatu musibah, maka ucapkanlah sebagaimana
yang telah dperintahkan oleh Allah, ‘Sesungguhnya kita milik Allah, dan
kepada-Nyalah kita akan dikembalikan. Ya Allah, karuniakanlah bagiku dalam
musibahku dan berilah aku ganti yang lebih baik daripadanya, maka Allah akan
melaksanakannya untuknya.”
Setelah
itu Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassalam. berdo’a: “Ya Allah, berilah
ketabahan atas kesedihannya, hiburlah dia dari musibah yang menimpanya, dan
berilah pengganti yang lebih baik untuknya.”
Abu
Salamah wafat setelah berjuang menegakkan Islam, dan dia telah memperoleh
kedudukan yang mulia di sisi Rasulullah. Sepeninggal Abu Salamah, Ummu Salarnah
diliputi rasa sedih. Dia menjadi janda dan ibu bagi anak-anak yatim.
Setelah
wafatnya Abu Salarnah, para pemuka dari kalangan sahabat bersegera meminang
Ummu Salamah. Hal ini mereka lakukan sebagai tanda penghormatan terhadapat
suaminya dan untuk. melindungi diri Ummu Salamah. Maka Abu Bakar ash-Shiddiq
dan Umar bin al-Khaththab meminangnya, tetapi Ummu Salamah menolaknya.
Pada
saat dirundung kesedihan atas suami yang benar-benar dicintainya serta belum
mendapatkan orang yang lebih baik darinya, ia didatangi oleh Rasulullah
Shallallahu Alaihi Wassalam. dengan maksud menghiburnya dan meringankan apa
yang dialaminya. Rasulullah berkata kepadanya, “Mintalah kepada Allah agar Dia
memberimu pahala pada musibahmu serta menggantikan untukmu (suami) yang lebih
baik.” Ummu Salamah bertanya, “Siapa yang lebih baik dan Abu Salamah, wahai
Rasulullah?”
E. Di Rumah Rasulullah.
Rasulullah
mulai memikirkan perkara Ummu Salamah, seorang mukminah mujahidah yang memiliki
kesabaran, dan Ummu Salamah pun telah menolak lamaran dua sahabatnya, Abu Bakar
dan Umar. Rasulullah pun berpikir dengan penuh pertimbangan dan kasih sayang
untuk tidak membiarkannya larut dalam kesedihan dan kesendirian.
Dalam
keadaan seperti itu Rasulullah mengutus Hathib bin Abi Balta’ah menemui Ummu
Salarnah dengan maksud meminangnya untuk beliau. Maka oleh Ummu Salamah
diterimanya pinangan tersebut. Bagaimana mungkin baginya untuk tidak menerima
pinangan dari orang yang lebih baik dari Abu Salamah, bahkan lebih baik dan
semua orang di dunia.
Dengan
perkawinan tersebut maka Ummu Salamah termasuk kalangan Ummahatul- Mukminin,
dan oleh Rasulullah ia ditempatkan di kamar Zainab binti Khuzaimah yang
digelari Ummul-Masakiin (ibu bagi orang-orang miskin) sampai Ummu Salamah
meninggal dunia.
Hal
itu diceritakan oleh Ummu Salamah kepada kami. Ia berkata, “Aku dipersunting
oleh Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassalam., lalu aku dipindahkan dan
ditempatkan di rumah Zainab (ummul- masakiin).”
Beberapa
keistimewaan yang dimiliki Ummu Salamah adalah ketajaman logika, kematangan
berpikir, dan keputusan yang benar atas banyak perkara. Karena itu, ia memiliki
kedudukan yang agung di sisi Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassalam., seperti
interaksinya dengan para Ummahatul-Mukminin yang merupakan interaksi yang
diliputi rasa kasih sayang dan kelemahlembutan.
F. Kedudukannya yang Agung
Di
antara perkara yang menunjukkan kedudukannya yang tinggi di sisi Rasulullah
Shallallahu Alaihi Wassalam adalah apa yang diceritakan Urwah bin Zubair
“Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassalam. menyuruh Ummu Salamah melaksanakan
shalat shubuh di Mekah pada hari penyembelihan (qurban) — padahal saat itu
merupakan hari (giliran)nya. Oleh sebab itu, Rasulullah merasa senang atas
kesetujuannya.”
Begitu
juga hadits Ummi Kulsum binti Uqbah yang dimasukkan oleh Ibnu Sa’ad dalam
(kitab) Thabaqat-nya. Ummi Kultsum berkata, “Tatkala Nabi Shallallahu Alaihi
Wassalam. menikahi Ummu Salamah, belau berkata kepadanya, ‘Sesungguhnya aku
menghadiahkan untuk Raja Najasyi sejumlah bejana berisikan minyak wangi dan
selimut. Akan tetapi, aku bermimpi bahwa Raja Najasyi itu telah meninggal
dunia, kemudian hadiah yang kuberikan kepadanya dikembalikan kepadaku. Karena
dikembalikan kepadaku, maka barang tersebut menjadi milikkü.”
Sebagaimana
yang dikatakan Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam., Raja Najasyi meninggal dunia,
dan hadiah tersebut dikembalikan kepadanya. Lalu beliau memberikan kepada
setiap istrinya masing-masing satu uqiyah (1/2 liter Mesir) dan beliau memberi
(sisa) keseluruhannya serta selimut kepada Ummu Salamah.
Setelah
Ummu Salamah menjadi istrinya, Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam. memasukkannya
dalam kalangan ahlul-bait. Di antara riwayat tentang masalah tersebut adalah
bahwasanya pernah pada suatu hari Rasulullah berada di sisi Ummu Salamah, dan
anak perempuan Ummu Salamah ada di sana. Rasulullah kemudian didatangi anak
perempuannya, Fathimah azZahra, disertai kedua anaknya, Hasan dan Husain r.a.,
lalu Rasullah memeluk Fathimah dan berkata, “Semoga rahmat Allah dan berkah-Nya
tercurah pada kalian wahai ahlul-bait. Sesungguhnya Dia Maha Terpuji (lagi)
Maha Mulia.”
Lalu
menangislah Ummu Salamah. Maka Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassalam.
menanyakan tentang penyebab tangisnya itu. Ia menjawab, “Wahai Rasulullah,
engkau mengistimewakan mereka sedangkan aku dan anak perempuanku engkau
tinggalkan. Beliau bersabda, “Sesungguhnya engkau dan anak perempuanmu termasuk
keluargaku.”
Anak
perempuan Ummu Salamah, Zainab, tumbuh dalam peliharaan Rasulullah Shallallahu
Alaihi Wassalam. ia termasuk di antara wanita yang memiliki ilmu yang luas pada
masanya.
Sebelum
Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassalam. mempersunting Ummu Salamah, wahyu
pernah turun kepada Rasulullah di kamar Aisyah, yang dengan hal itu Aisyah
membanggakannya pada istri-stri beliau yang lain. Maka setelah Rasulullah
menikahi Ummu Salamah, wahyu turun kepadanya ketika beliau berada di kamar Ummu
Salamah.
G. Beberapa Sikap Cemerlang pada Masa Hidup Ummu Salamah.
Di
antara sikap agungnya adalah apa yang ditunjukkannya pada Rasulullah
Shallallahu Alaihi Wassalam. pada hari (perjanjian) Hudaibiyah. Pada waktu itu
ia menyertai Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassalam. dalam perjalanannya menuju
Mekah dengan tujuan menunaikan umrah, tetapi orang-orang musyrik mencegah
mereka untuk memasuki Mekah, dan terjadilah Perjanjian Hudaibiyah antara kedua
belah pihak.
Akan
tetapi, sebagian besar kaum muslimin merasa dikhianati dan merasa bahwa
orang-orang musyrik menyianyiakan sejumlah hak-hak kaum muslimin. Di antara
mayonitas yang menaruh dendam itu adalah Umar bin al-Khaththab, yang berkata
kepada Rasulullah dalam percakapannya dengan beliau, “Atas perkara apa kita
serahkan nyawa di dalam agama kita?” Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassalam.
menjawab, “Saya adalah hamba Allah dan rasul-Nya. Aku tidak akan menyalahi
perintah-Nya, dan Dia tidak akan menyianyiakanku.”
Akan
tetapi, tanda-tanda bahaya semakin memuncak setelah Rasulullah Shallallahu
Alaihi Wassalam. menyuruh kaum muslimin melaksanakan penyembelihan hewan qurban
kemudian bercukur, tetapi tidak seorang pun dari mereka melaksanakannya. Beliau
mengulang seruannya tiga kali tanpa ada sambutan.
Beliau
menemui istrinya, Ummu Salamah, dan menceritakan kepadanya tentang sikap kaum
muslimin. Ummu Salamah berkata, “Wahai Nabi Allah, apakah engkau menginginkan
perintah Allah ini dilaksanakan oleh kaum muslimin? Keluarlah engkau, kemudian
janganlah mengajak bicara sepatah kata seorang pun dari mereka sampai engkau
menyembelih qurbanmu serta memanggil tukang cukur yang mencukurmu.”
Rasulullah
Shallallahu Alaihi Wassalam. kagum atas pendapatnya dan bangkit mengerjakan
sebagaimana yang diusulkan Ummu Salamah. Tatkala kaum muslimin melihat
Rasulullah mengerjakan hal itu tanpa berkata kepada mereka, mereka bangkit dan
menyembelih serta sebagian dari mereka mulai mencukur kepala sebagian yang lain
tanpa ada perasaan keluh kesah dan penyesalan atas tindakan Rasulullah yang
mendahului mereka.
Ummu
Salamah telah menyertai Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassalam. di banyak
peperangan, yaitu peperangan Khaibar, Pembebasan Mekah, pengepungan Tha’if,
peperangan Hawazin, Tsaqif kemudian ikut bersama beliau di Haji Wada’.
Kita
tidak melupakan sikapnya terhadap Umar bin al-Khaththab, tatkala Urnar datang
kepadanya dan mengajak bicara tentang perkara keperluan Ummahatul-Mukminin
kepada Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassalam. serta kekasaran mereka terhadap
Rasulullah. Maka ia berkata, “Engkau ini aneh, wahai anak al-Khaththab. Engkau
telah ikut campur di setiap perkara sehingga ingin mencampuri urusan Rasulullah
Shallallahu Alaihi Wassalam. beserta istri-istrinya?”
Setelah
Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassalam. meninggal dunia ia senantiasa mengenang
beliau dan sangat berduka cita atas kewafatannya. Beliau senantiasa banyak
melakukan puasa dan beribadah, tidak kikir pada ilmu, serta meriwayatkan hadits
yang berasal dan Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassalam.
Telah
diriwayatkannya sekian banyak hadits shahih yang bersumber dari Rasulullah dan
suaminya, Abu Salamah, serta dari Fathimah az-Zahraa Sedangkan orang yang
meriwayatkan darinya banyak sekali, di antara mereka adalah anak-anaknya dan
para pemuka dan sahabat serta ahli hadits.
Di
antara beberapa sikapnya yang nyata adalah pada hari pembebasan kota Mekah.
Waktu itu Nabi keluar dari Madinah bersarna bala tentaranya dengan kehebatan
dan jumlah yang belum pernah disaksikan oleh bangsa Arab, sehingga orang-orang
musyrik Quraisy merasa takut, dan mereka keluar dari rumah dengan rnaksud
menemui Rasulullah untuk bertobat dan menyatakan keislaman mereka.
Termasuk
dari mereka, Abu Sufyan bin al-Harts bin Abdul-Muththalib (anak paman
Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassalam.) dan Abdullah bin Abi Umayyah bin al-Mughirah
(anak bibi [dari ayah] Rasulullah, saudara Ummu Salamah sebapak). Ketika mereka
berdua meminta izin masuk menemui Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassalam.,
beliau enggan memberi izin masuk bagi keduanya disebabkan penyiksaan mereka
yang keras terhadap kaurn muslimin menjelang beliau hijrah dari Mekah.
Maka
berkatalah Ummu Salamah kepada Rasulullah dengan perasaan iba terhadap
keluarganya sendiri dan juga keluarga Rasulullah, “Wahai Rasulullah, mereka
berdua adalah anak parnanmu dan anak bibirnu (dan ayah) serta iparmu.”
Rasulullah menjawab, “Tidak ada keperluan bagiku dengan mereka berdua. Adapun
anak parnanku, aku telah diperlakukan olehnya dengan tidak baik. Adapun anak
bibiku (dari ayah) serta iparku telah berkata di Mekah dengan apa yang ia katakan.”
Pernyataan
itu telah sampai kepada Abu Sufyan, anak paman Rasulullah. Maka ia berkata,
“Demi Allah, ia harus mengizinkanku atau aku mengambil anak ini dengan kedua
tanganku -pada saat itu ia bersama anaknya, Ja’far- kemudian karni harus
berkelana di dunia sehingga mati kehausan dan kelaparan.”
Lalu
Ummu Salamah memberitahukan perkataan Abu Sufyan tersebut kepada Rasulullah
Shallallahu Alaihi Wassalam. dengan kembali memohon rasa belas kasih. Akhirnya
hati beliau menjadi luluh, lalu mengizinkan keduanya masuk. Maka masuklah
keduanya dan menyatakan keislaman serta bertobat di hadapan Rasulullah.
H. Sikapnya terhadap Fitnah
Ummu
Salamah selalu berada di rumahnya, senantiasa ikhlas beribadah kepada Allah
Subhanahu Wa Ta’ala dan menjaga Sunnah suaminya tercinta pada masa (khilafah)
Abu Bakar ash-Shiddiq dan Umar bin al-Khaththab..
Pada
masa khilafah Utsman bin Affan ia melihat kegoncangan situasi serta perpecahan
kaum muslimin di seputar khalifah. Bahaya fitnah sernakin memuncak di langit
kaum muslirnin. Maka ia pergi menernui Utsman dan menasihatinya supaya tetap
berpegang teguh pada petunjuk Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassalam. serta
petunjuk Abu Bakar dan Umar bin al-Khaththab, tidak menyimpang dan petunjuk
tersebut selama-lamanya.
Apa
yang dikhawatirkan Ummu Salamah terjadi juga, yaitu peristiwa terbunuhnya
Utsman yang saat itu tengah membaca Al-Qur’an dan angin fitnah tengah bertiup
kencang terhadap kaurn muslimin. Pada saat itu Aisyah telah membulatkan tekad
untuk keluar menuju Bashrah disertai Thalhah bin Ubaidillah dan Zubair bin
al-’Awwam dengan tujuan mernobilisasi massa untuk melawan Ali bin Abi Thalib.
Maka Ummu Salamah mengirim surat yang memiliki sastra indah kepada Aisyah.
“Dari Ummu Salamah, Istri Nabi Shallallahu Alaihi
Wassalam., untuk Aisyah Ummul-Mu’ minin.
Sesungguhnya aku memuji Allah yang tidak ada ilah (Tuhan) melainkan Dia.
Amma ba’du.
Sesungguhnya aku memuji Allah yang tidak ada ilah (Tuhan) melainkan Dia.
Amma ba’du.
Engkau
sungguh telah merobek pembatas antara Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassalam.
dan umatnya yang merupakan hijab yang telah ditetapkan keharamannya.
Sungguh Al-Qur’an telah memberimu kemuliaan, maka jangan engkau lepaskan. Dan Allah telah menahan suaramu, maka janganlah engkau niengeluarkannya Serta Allah telah tegaskan bagi umat ini seandainya Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassalam. mengetahui bahwa kaum wanita memiliki kewajiban jihad (berperang) niscaya beliau berpesan kepadamu untuk menjaganya.
Tidakkah engkau tahu bahwasanya beliau melarangmu melampaui batas dalam agama, karena sesungguhnya tiang agama tidak bisa kokoh dengan campur tangan wanita apabila tiang itu telah miring, dan tidak bisa diperbaiki oleh wanita apabila telah hancur. Jihad wanita adalah tunduk kepada segala ketentuan, mengasuh anak, dan mencurahkan kasih sayangnya.”
Sungguh Al-Qur’an telah memberimu kemuliaan, maka jangan engkau lepaskan. Dan Allah telah menahan suaramu, maka janganlah engkau niengeluarkannya Serta Allah telah tegaskan bagi umat ini seandainya Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassalam. mengetahui bahwa kaum wanita memiliki kewajiban jihad (berperang) niscaya beliau berpesan kepadamu untuk menjaganya.
Tidakkah engkau tahu bahwasanya beliau melarangmu melampaui batas dalam agama, karena sesungguhnya tiang agama tidak bisa kokoh dengan campur tangan wanita apabila tiang itu telah miring, dan tidak bisa diperbaiki oleh wanita apabila telah hancur. Jihad wanita adalah tunduk kepada segala ketentuan, mengasuh anak, dan mencurahkan kasih sayangnya.”
Ummu
Salamah berada di pihak Ali bin Abi Thalib karena beliau menggikuti kesepakatan
kaum muslimin atas terpilihnya beliau sebagai khalifah mereka. Karena itu, Ummu
Salamah mengirim/mengutus anaknya, Umar, untuk ikut berperang dalan barisan Ali
.
I. Saat Wafatnya
Pada
tahun ke-59 hijriah, usia Ummu Salamah telah mencapai 84 tahun. Usia tua dan
pikun merambah di pertambahan umurnya. Allah ta’ala mengangkat rohnya yang suci
naik ke atas menuju hadirat-Nya. Ia meninggal dunia setelah hidup dengan
aktivitas yang dipenuhi oleh pengorbanan, jihad, dan kesabaran di jalan Allah
Subhanahu Wa Ta’ala dan Rasul-Nya. Beliau dishalatkan oleh Abu Hurairah r.a.
dan dikuburkan di al-Baqi’ di samping kuburan Ummahatul-Mukminin lainnya.
Semoga rahmat Allah senantiasa menyertai Sayyidah Ummu
Salamah. dan semoga Allah memberinya tempat yang layak di sisi-Nya. Amin.
Sumber:
Buku Dzaujatur-Rasulullah , Karya Amru Yusuf, Penerbit Darus-Sa’abu, Riyadh
Nasab dan Masa
Pertumbuhannya
Nama lengkap Zainab
adalah Zainab binti Khuzaimah bin Haris bin Abdillah bin Amru bin Abdi Manaf
bin Hilal bin Amir bin Sha’shaah al-Hilaliyah. Ibunya bemama Hindun binti Auf
bin Harits bin Hamathah.
Berdasarkan asal-usul
keturunannya, dia termasuk keluarga yang dihormati dan disegani. Tanggal lahirnya
tidak diketahui dengan pasti, namun ada riwayat yang rnenyebutkan bahwa dia
lahir sebelum tahun ketiga belas kenabian. Sebelum memeluk Islam dia sudah
dikenal dengan gelar Ummul Masakin (ibu orang-orang miskin) sebagaimana telah
dijelaskan dalam kitab Thabaqat ibnu Saad bahwa Zainab binti Khuzaimali bin
Haris bin Abdillah bin Amru bin Abdi Manaf bin Hilal bin Amir bin Sha’shaah
al-Hilaliyah adalah Ummul-Masakin. Gclar tersebut disandangnya sejak masa
jahiliah. Ath-Thabary, dalam kitab As-Samthus-Samin fi Manaqibi Ummahatil
Mu’minin pun di terangkan bahwa Rasulullah. menikahinya sebelum beliau menikah
dengan Maimunah, dan ketika itu dia sudah dikenal dengan sebutan Ummul-Masakin
sejak zaman jahiliah. Berdasarkan hal itu dapat disimpulkan bahwa Zainab binti
Khuzaimah terkenal dengan sifat kemurah-hatiannya, kedermawanannya, dan sifat
santunnya terhadap orang-orang miskin yang dia utamakan daripada kepada dirinya
sendiri. Sifat tersebut sudah tertanarn dalam dirinya sejak memeluk Islam
walaupun pada saat itu dia belum mengetahui bahwa orang-orang yang baik,
penyantun, dan penderma akan memperoleh pahala di sisi Allah.
Keislaman dan
Pernikahannya
Zainab binti Khuzaimah.
termasuk kelompok orang yang pertama-tama masuk Islam dari kalangan wanita.
Yang mendorongnya masuk Islam adalah akal dan pikirannya yang baik, menolak
syirik dan penyembahan berhala dan selalu menjauhkan diri dari perbuatan
jahiliah.
Para perawi berbeda
pendapat tentang nama-nama suami pertama dan kedua sebelum dia menikah dengan
Rasulullah. Sebagian perawi mengatakan bahwa suami pertama Zainab adalah
Thufail bin Harits bin Abdil-Muththalib, yang kemudian menceraikannya. Dia
menikah lagi dengan Ubaidah bin Harits, namun dia terbunuh pada Perang Badar
atau Perang Uhud. Sebagian perawi mengatakan bahwa suami keduanya adalah
Abdullah bin Jahsy. Sebenarnya masih banyak perawi yang mengemukakan pendapat
yang berbeda-beda. Akan tetapi, dari berbagai pendapat itu, pendapat yang
paling kuat adalah riwayat yang mengatakan bahwa suami pertamanya adalah
Thufail bin Harits bin Abdil-Muththalib. Karena Zainab tidak dapat melahirkan
(mandul), Thufail menceraikannya ketika mereka hijrah ke Madinah. Untuk
mernuliakan Zainab, Ubaidah bin Harits (saudara laki-laki Thufail) menikahi
Zainab. Sebagaimana kita ketahui, Ubaidah bin Harits adalah salah seorang
prajurit penunggang kuda yang paling perkasa setelah Hamzah bin
Abdul-Muththalib dan Ali bin Abi Thalib. Mereka bertiga ikut melawan
orang-orang Quraisy dalam Perang Badar, dan akhirnya Ubaidah mati syahid dalam
perang tersebut.
Setelah Ubaidah wafat,
tidak ada riwayat yang menjelaskan tentang kehidupannya hingga Rasulullah .
menikahinya. Rasulullah menikahi Zainab karena beliau ingin melindungi dan
meringankan beban kehidupan yang dialaminya. Hati beliau menjadi luluh melihat
Zainab hidup menjanda, sementara sejak kecil dia sudah dikenal dengan kelemah-
lembutannya terhadap orang-orang miskin. Scbagai Rasul yang membawa rahmat bagi
alam semesta, beliau rela mendahulukan kepentingan kaum muslimin, termasuk
kepentingan Zainab. Beiau senantiasa memohon kepada Allah agar hidup miskin dan
mati dalam keadaan miskin dan dikumpulkan di Padang Mahsyar bersama orangorang
miskin.
Meskipun Nabi.
mengingkari beberapa nama atau julukan yang dikenal pada zaman jahiliah, tetapi
beiau tidak mengingkari julukan “ummul-masakin” yang disandang oleh Zainab
binti Khuzaimah.
Menjadi Ummul-Mukminin
Tidak diketahui dengan
pasti masuknya Zainab binti Khuzaimah ke dalam rumah tangga Nabi ., apakah
sebelum Perang Uhud atau sesudahnya. Yang jelas, Rasulullah . menikahinya
karena kasih sayang terhadap umamya walaupun wajah Zainab tidak begitu cantik
dan tidak seorang pun dari kalangan sahabat yang bersedia menikahinya. Tentang
lamanya Zainab berada dalam kehidupan rumah tangga Rasulullah pun banyak
tendapat perbedaan. Salah satu pendapat mengatakan bahwa Zainab memasuki rumah
tangga Rasulullah selama tiga bulan, dan pendapat lain delapan bulan. Akan
tetapi, yang pasti, prosesnya sangat singkat kanena Zainab meninggal semasa
Rasulullah hidup. Di dalam kitab sirah pun tidak dijelaskan penyebab
kematiannya. Zainab meninggal pada usia relatif muda, kurang dari tiga puluh
tahun, dan Rasulullah yang menyalatinya. Allahu A’lam.
Semoga rahmat Allah
senantiasa menyertai Sayyidah Zainab binti Khuzaimah. dan semoga Allah
memberinya tempat yang layak di sisi-Nya. Amin.
Sumber:
buku Dzaujatur-Rasulullah , karya Amru Yusuf, Penerbit Darus-Sa’abu, Riyadh
Hidupnya bersama RasuluLlah, hanya
singkat. Antara 4 sampai 8 bulan. Zainab terkenal dengan julukan Ummul Masaakiin,
karena kedermawanannya terhadap kaum miskin. Zainab meninggal, ketika
Rasulullah masih hidup. Dan Rasulullah sendiri menshalati jenazahnya. Zainablah
yang pertama kali dimakamkan di Baqi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar